KEARIFAN LOKAL
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan
Negara dengan keberagaman budayanya yang tetap lestari hingga sekarang. Keberagaman
budaya ini tercermin pula dalam nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat yang biasa disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal
ini diturunkan secara turun temurun dan mengalami perkembangan sesuai
perkembangan peri-kehidupan dan kebudayaan masyarakat lokal. salah satunya
Budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal sebagai budaya adiluhung. Keanekaragaman
budaya dan adat kebiasaan Jawa seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat adat ataupun masyarakat
tradisional bahkan sampai saat ini. Tulisan berikut akan menghadirkan paparan
mengenai kearifan lokal Jawa Tengah dan Jawa Timur serta analisisnya menurut
perspektif pendidikan. Hal ini perlu dilakukan untuk menggali kearifan lokal di
masing-masing daerah supaya masyarakat kita terutama generasi muda menjadi
masyarakat yang berbudaya dan sadar akan budayanya sendiri terutama bagi
masyarakat di pulau Jawa khususnya daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Upaya membangun karakter pemuda berbasis
kearifan budaya lokal dapat ditanamkan sejak dini melalui jalur pendidikan
sehingga dianggap sebagai langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal
yang menjadi peletak dasar pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian
dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam
meningkatkan sumber daya manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan
menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
B. Macam-Macam Kearifan Lokal Jawa Tengah
Keraf (2002) menegaskan bahwa
kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi
sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun
gaib.
Dapat dipahami bahwa kearifan lokal adalah
pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan
hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan
memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Kearifan lokal
budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman dan perilaku
masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui (1)
norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan
kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3)
lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya
mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh
masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri
sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal
masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan
yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam
atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
(Sartini, 2004).
Di daerah Jawa Tengah terdapat beberapa kearifan lokal
yang eksistensinya tetap bertahan sampai sekarang mengacu pada pemaparan
tersebut. Dari banyaknya kearifan lokal Jawa Tengah, akan dijabarkan beberapa
di antaranya sebagai berikut.
1. Norma-norma Lokal Yang Dikembangkan
Norma itu mempunyai
dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Perintah
merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena
akibat-akibatnya dipandang baik, mislanya dalam masyarakat Jawa termasuk Jawa
Tengah ketika naik angkutan umum, apabila orang yang lebih tua berdiri dan
orang yang lebih muda duduk, masyarakat terbiasa secara insiatif untuk
mempersilahkan orang yang lebih tua memakai tempat duduknya.
Sedangkan larangan
merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena
akibat-akibatnya dipandang tidak baik., misalnya anak perempuan dilarang pulang
terlalu larut malam supaya tidak menimbulkan tuduhan atau sangkaan dari
kalangan masyarakat. Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat.
Macam-macam norma yang telah dikenal luas yaitu:
a.
Norma Agama : Ialah
peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, larangan-larangan
dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap
norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak
di akhirat.
b.
Norma Kesusilaan :
Ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia.
Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat
penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh
seluruh umat manusia.
c.
Norma Kesopanan : Hakikat norma kesopanan
adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Contohnya,
di Pulau Jawa termasuk di Jawa Tengah, ketika anak muda berbicara dengan orang
yang lebih sepuh (tua) selalu menggunakan bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia
yang lebih halus dan sopan untuk menghormati orang yang lebih tua, sedikit
membungkukkan badan apabila berjalan melewati orang yang lebih tua, dan mencium
tangan orang yang lebih tua.[1]
2. Ritual dan Tradisi masyarakat
Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia ritual merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan ritus
(Team, 1989: 751). Ritus sendiri mempunyai pengertian tata cara dalam
upacara-upacara keagamaan. Sedangkan tradisi, adalah sesuatu yang telah
dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.[2] Dari
banyaknya ritual dan tradisi yang ada di Jawa Tengah, berikut beberapa ritual
dan tradisi yang ada di Jawa Tengah yang didalamnya mengandung nilai-nilai
kearifan lokal.
a.
Upacara Nyadran
Orang Jawa memiliki ritus-ritus tertentu sebagai wadah
dari mistisisme yang dilakukannya. Ritus-ritus yang paling permukaan dan umum
tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan masyarakat adalah tradisi
slametan dan nyadran. Upacara tradisional nyadran disebarkan dan diwariskan
secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain, oleh karena itu
tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor.
Menurut John Harold Bruvant berdasarkan tipenya
folklor dapat digolongkan dalam tiga kelompok: (1) folklor lisan, yaitu folklor
yang bentuknya murni lisan, misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan
tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat;(2) folklor sebagian
lisan, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur
bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat,
upacara dan pesta rakyat; (3) folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya
bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor ini ada
yang berbentuk material dan nonmaterial.[3]
Upacara tradisional nyadran termasuk folklor sebagian
lisan karena di dalamnya terdapat bentuk foklor lisan, yaitu doa-doa yang
digunakan dalam upacara dan juga terdapat bentuk folklor bukan lisan berupa uba
rampe dalam upacara tersebut.
Upacara nyadran ini
merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran
massal. Di daerah Jawa Tengah, tepatnya Desa Sumogawe Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang mengelar tradisi nyadran di pemakaman menjelang bulan puasa
(Syaban). Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur,
memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Biasanya para peserta
nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja,
jajanan pasar, dan kolak. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan
sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa
kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan
kenanga. Upacara Nyadran bertujuan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan
Tuhan kepada masyarakat atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena
masyarakat di sini sebagian besar nelayan.[4]
Ketika masyarakat
melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong,
kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi
ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran
akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita. Ada unsur gotong-royong,
kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi
ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran
akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa Indonesia.[5]
b.
Pernikahan Adat Jawa
Pernikahan adat
Jawa merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya dimana terdapat lambang dalam
ritual upacaranya memiliki simbol yang mengandung makna dan mencerminkan norma
atau nilai budaya Jawa. Misalnya, di Desa Sukomanah, Kabupaten Purwodadi
terdapat ritual yang tidak boleh dilewatkan dalam pernikahan adat Jawa.
Pertama, Siraman merupakan sebuah
ritual dalam pernikahan yang dilakukan sebelum dilakukan akad nikah. Jadi
siraman ini merupakan salah satu simbol dari ritual dalam pernikahan adat Jawa
yang memiliki makna untuk membersihkan
diri dari hal-hal yang kotor dan negatif. Kedua, Midodareni, Malam midodareni itu dilaksanakan setelah sore hari dilaksanakan
siraman. Biasanya pada malam midodareni ini di sertai dengan lek-lekan yang
dilakukan oleh bapak-bapak dan kaum muda. Tujuan dari lek-lekan yang dilakukan
oleh bapak-bapak itu memiliki maksud untuk ngendong atau ikut serta untuk tepo
seliro dengan keluarga yang punya hajat agar memiliki rasa solidaritas yang
tinggi dan kekeluargaan yang erat.
Balang-balangan
sirih memiliki makna
kesuburan karena sirih itu berwarna hijau, selain itu sirih dalam bahasa Jawa
yaitu suruh memiliki arti kesusu weruh. Jadi jika ada orang menikah kedua
pengantin itu kesusu weruh dari apa yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Memecah telor dilakukan oleh laki-laki/
pengantin kakung dengan kaki kirinya, memecah telor ini memiliki makna Kedua
pasangan suami istri harus mempunyai tujuan sama untuk membangun rumah
tangganya kelak. Terakhir, sungkeman Tindakan
ini memiliki makna pernyataan terimakasih kepada kedua orangtua atas segala
bimbingan sampai saatnya kedua pengantin harus berdiri sendiri.[6]
c. Slametan
Salah satu adat istiadat, sebagai ritual
keagamaan yang paling popular di dalam masyarakat Islam Jawa termasuk di daerah
Jawa Tengah adalah slametan, yaitu upacara ritual komunal yang telah mentradisi
di kalangan masyarakat Islam Jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang. (Hilmi, 1994: 41) Peristiwa penting tersebut seperti
kelahiran, kematian, pernikahan, membangun rumah, permulaan membajak sawah atau
pasca panen, sunatan, perayaan hari besar, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa
yang dihiasi dengan tradisi slametan.
Slametan diyakini
sebagai sarana spiritual yang mampu mengatasi segala bentuk krisis yang melanda
serta bisa mendatangkan berkah bagi mereka. Adapun objek yang dijadikan sarana
pemujaan dalam slametan adalah ruh nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan
magis. Di samping itu, slametan diyakini juga sebagai sarana mengagungkan,
menghormati, dan memperingati ruh leluhur, yaitu para nenek moyang (Kamajaya,
1995: 247).
d.
Upacara Tedak Siti
Upacara tedak siti
atau tedhak siten merupakan ritual tradisi Jawa, yaitu saat bayi usia 7 bulan
atau 7 lapan (menjelang 8 bulan) untuk pertama kalinya dikenalkan menginjak
tanah. Dalam tradisi, si bayi juga disuruh memilih menggunakan perasaannya atau
acak pada objek pilihan yang disediakan. Ada kalanya si bayi dikurung dalam
kranji ayam atau kurungan ayam agar leluasa menentukan pilihan sesuai
kemauannya, pilihan itu menjadi simbolisasi untuk menentukan pilihan atau
kecenderungan profesi si bayi di masa depan. Dengan kata lain, sebagai tanda
harapan agar anak bisa mandiri setelah dewasa nanti.
e.
Grebeg Maulud
Upacara Grebeg
Maulud yang dilaksanakan di Keraton Kesultanan Yogyakarta pada setiap bulan
maulud (Rabi’ul Awal) merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.[7]
Garebeg merupakan upacara adat terbesar yang diselenggarakan oleh Keraton
Yogyakarta, yang selalu disertai dengan gunungan. Meskipun keratin harus
mengeluarkan biaya yang cukup besar. Upacara grebeg maulud memiliki arti
religius karena penyelenggaraannya berkaitan dengan kewajiban sultan untuk
menyiarkan dan melindungi agama Islam dalam kerajaannya sesuai dengan kedudukan
dan perannya sebagai pemimpin.[8]
3. Lagu-lagu Rakyat, Legenda, Mitos atau cerita rakyat
Lagu dolanan Jawa
merupakan bagian dari lagu rakyat yang menjadi salah satu aspek kebudayaan
daerah atau Local Genius. Apabila ditinjau dari skala kepopulerannya dan bahasa
daerah yang digunakan maka dapat digolongkan bahwa lagu dolanan merupakan lagu
tradisional. Banyak sekali lagu-lagu dolanan yang beredar di masyarakat
kebudayaan Jawa. Lagu Gundhul-gundhul
Pacul adalah salah satu contoh lagu dolanan yang merupakan bagian dari lagu
rakyat tradisional. Lagu Gundhul-gundhul
Pacul berasal dari propinsi Jawa Tengah, sedangkan pencipta atau pengarang
lagu dan liriknya bernama R.C. Hardjosubroto. Lagu tersebut merupakan
perlambangan dari seorang pemimpin yang tidak amanah sehingga tidak dapat
mempertahankan apa yang seharusnya ia junjung yang terdapat dalam liriknya “Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar”[9]
Adapun mitos adalah
cerita-cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama (religi). Yang
termasuk dalam kelompok mitos adalah cerita yang menerangkan asal-usul dunia,
kehidupan, manusia dan kegiatan-kegiatan hidup seperti bercocoktanam (misalnya
tentang kepercayaan Dewi Sri) dan adat istiadat yang lain. (Hotomo,1991: 63).
Salah satu mitos yang
terkenal di Jawa Tengah, terdapat di Kabupaten Semarang yakni legenda
terbentuknya Rawa Pening. Konon Rawa
Pening dimulai dari sebuah mitos yang turun-temurun diwariskan menjadi sebuah
kearifan lokal. Awal mula Rawa Pening dimulai dari legenda Baru Klinting, yang
dikisahkan sebagai anak kecil yang sakti, namun memiliki wajah yang buruk supa
sehingga menjadi bahan ejekan anak sebayanya. Hanya seorang janda yang mau
menerima keberadaan baru klinting. Kemudian Baru Klinting meminta janda
tersebut naik lesung (penumbuk padi) apabila terdengan suara kentongan.
Kemudian Baru Klinting menuju Pelataran dan mengadakan sayembara, siapa yang
bisa mencabut lidi yang ditancapkannya. Tidak ada satupun yang mampu
mencabutnya, sehingga Baru Klinting sendiri yang mencabut lidi tersebut lalu
setelah tercabut keluarlah semburan air yang semakin membesar hingga membentuk
rawa.
Kearifan lokal
terbangun dari adanya kepercayaan terhadap mitos terbentuknya Rawapening yang
dikaitkan dengan legenda “Baru Klinting”, dengan melakukan aktivitas sedekah di
rawa ini telah menciptakan integrasi dalam berkehidupan sosial masyarakat dan
sikap kegotongroyongan yang awalnya untuk menyediakan sesaji. Namun, dalam
perkembangannya, integrasi dan aktivitas sosial tidak semata dikaitkan dengan
kebutuhan ritual, tetapi berkembang dalam kehidupan social ekonomi masyarakat.
C. Penerapan Kearifan
Lokal Di Ponorogo, Jawa Timur
Penerapan kearifan lokal di Jawa Timur tidak jauh
berbeda dengan di Jawa Tengah. Banyak hal menarik dari seni dan kebudayaan yang
terdapat di propinsi Jawa Timur. Banyak kesenian khas yang menjadi ciri khas
dari budaya yang terdapat di daerah Jawa Timur.
Propinsi yang ada di bagian timur pulau Jawa ini
memiliki banyak keunikan, diantaranya adalah kebudayaan dan adat istiadat dari
di Jawa Timur. Namun banyak di antaran kebudayaan Jawa Timur menerima pengaruh
dari propinsi Jawa Tengah. Berikut beberapa kebudayaan dan adat istiadat dari
Jawa Timur, khusunya di Ponorogo yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal:
1.
Grebeg Suro
Sebagai
kawasan lama, Ponorogo tentu saja memiliki kearifan lokal (local genius)
tersendiri yang berakar dalam nilai-nilai keagamaan, grebeg suro, seni Reog dan
masih banyak yang lainnya.
Namun, masyarakat setempat familiar dengan
gelaran Grebeg Suro setiap tahunnya.
Grebeg Suro di Ponorogo merupakan suatu acara yang diadakan untuk
memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro).
Tanggal 1 Syura (Muharram) merupakan tanggal yang istimewa bagi masyarakat
Jawa. Pasalnya, malam 1 Syura diperingati sebagai tahun baru Jawa. Dalam grebeg
ini juga digelar kirab pusaka, festival Reog Nasional, pemilihan duta wisata
kakang senduk, acara Larung Risalah dan doa, tirakatan, kenduri (selamatan) dan
Istighosah. Prosesi tersebut menarik, tidak hanya dalam format fisiknya, tetapi
juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Grebeg Suro Menurut kamus Jawa Kuno Indonesia
yang dimaksud dengan Grebeg adalah derap banyak kaki yang bergemuruh.
Sedangkan menurut sejarahnya, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg”
yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Hal ini menggambarkan suasana grebeg
yang memang ramai dan riuh.
Untuk menyongsong malam tahun baru Suro, pada
umumnya diadakan tradisi membersihkan pusaka leluhur yang kemudian akan di bawa
ketik kirab pusaka dan bentuk ungkapan rasa syukur dengan melakukan tirakatan
(banyak berdzikir dan beramal soleh), istighosah, kenduri (selamatan
membagi-bagi rezeki), membuat bubur suro yang kemudian diantar ke-tetangga,
handai taulan dan kerabat. Maksud dan tujuan utama melakukan tradisi tersebut
adalah menjalin silaturahmi, mengembangkan Ukhuwah Islamiah, Bashoriyah,
Wathoniah (keislaman, sesama muslim, persaudaraan sesama masyarakat Ponorogo,
dan kebangsaan sesama bangsa Indonesia) (Disbudparpora Ponorogo, 2008). Umumnya
para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara
ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta untuk
menghormati pendiri Kabupaten Ponorogo.
Grebeg Suro di Ponorogo dapat dilihat adanya
Tari Reog Ponorogo yang tidak ditemui dalam acara grebeg-grebeg di daerah lain
seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Pada dasarnya Grebeg Suro Ponorogo
merupakan suatu acara yang diadakan untuk memperingati datangnya tahun baru
Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro) dan kegiatan rutin yang bertujuan
melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reog
yang menjadi seni asli Ponorogo.
2.
Reog Ponorogo
Reog ditampilkan dalam bentuk topeng kepala
singa yang terlihat menakutkan dan bermahkotakan bulu merak yang sangat indah.
Tokoh tersebut adalah simbol untuk Kertabumi dalam cerita pemberontakan Ki
Ageng Kutu. Peralatan-peralatan kesenian reogpun merupakan simbol untuk menyampaikan pesan dan
mengandung makna. Simbol-simbol dalam kesenian Reog Ponorogo mengandung makna
sebagai berikut:[10]
a.
Gemblakan, yang dahulu diperankan oleh laki-laki ganteng
dan didandani seperti layaknya perempuan sebagai ‘klangenan’ warok,
sekarang gemblakan diganti dengan penari jathil (penari kuda
kepang) yang pemainnya perempuan. Penari jathil ini diibaratkan prajurit yang
sedang berlatih perang.
b.
Tasbih atau merjan. Di atas dhadhak merak
(barongan) terdapat burung merak yang sedang mematuk merjan atau
tasbih. Hal ini mengandung makna bahwa tasbih sebagai benda yang sering
digunakan untuk berzikir.[11]
c.
Gamelan Reog laras slendro memiliki
bilangan: 1, 2, 3, 4, 5, 6 jumlahnya 17. Angka 17 melambangkan bahwa shalat
wajib rakaatnya berjumlah 17.[12]
d.
Reog
atau reyog berasal dari bahasa Arab : riyoqun,
yang artinya khusnul khatimah. Kata ini melambangkan bahwa seluruh
perjalanan hidup manusia walaupun banyak dosa, maka apabila telah sadar dan
bertobat akhirnya akan menemukan khusnul khatimah. Arti lainnya, kata
Reog merupakan harapan Bathara Katong setelah masyarakat Ponorogo yang Hindhu
beralih ke Islam nantinya akan menjadi manusia khusnul khatimah.
e.
Kendhang, merupakan peralatan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qoda’a yang
artinya rem. Terkait dengan rem, dalam Islam terdapat konsep nafsu yang apabila
seseorang dapat mengendalikan gejolak nafsu (amarah, lauwamah, dan supiah),
maka orang akan dapat mencapai khusnul khatimah.
f.
Ketipung,
merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab katifun
yang artinya balasan. Setiap tindakan manusia apakah itu tindakan baik
maupun tindakan buruk semuanya akan menerima balasan. Tindakan baik akan
mendapatkan pahala, dan tindakan buruk akan mendapatkan laknat Tuhan.
g.
Kenong
merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qona’a
yang artinya menerima takdir. Maksudnya, manusia dalam upayanya untuk
mencari keberhasilan hidup, agar tidak mendapatkan kecewa apabila tidak
berhasil, maka hasil akhir dari upayanya itu harus dikatakan sebuah takdir.
h.
Kethuk
merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab khothok
yang artinya banyak salah.
i.
Terompet
merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab shuwarun
yang artinya peringatan. Istilah terompet ini mengingatkan manusia bahwa
besuk setelah kiamat terjadi manusia dibangunkan dengan suara terompet malaikat
yang kemudian manusia akan mendapatkan pengadilan.
j.
Angklung,
merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab anqul
yang artinya peralihan. Maksud dari istilah anqul bahwa manusia dalam
hidupnya diharapkan untuk hijrah dari hal yang buruk ke hal yang baik. Agar
manusia hidupnya selamat di dunia dan di akherat, maka harus hijrah dari
keadaan buruk ke keadaan baik.
k.
Udheng,
merupakan tutup kepala pemain kesenian Reog berasal dari bahasa Arab ud’u yang
artinya mengajak atau menganjurkan. Maksud kata di atas bahwa manusia
diharapkan untuk mengajak dan menganjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja
tentang kebajikan dunia maupun kebajikan akherat.
l.
Penadhon
merupakan pakaian para pemain kesenian reog. Kata tersebut berasal dari bahasa
Arab yang artinya fanadun yang artinya lemah. Perlu disadari bahwa
manusia memiliki kelemahan dan kekhilafan. Untuk itu, manusia diharapkan agar
sesering mungkin mohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
m.
Usus-usus/koloran merupakan asesoris pakaian pemain kesenian
Reog (warok). Kata tersebut berasal dari bahasa Arab ushusun yang
artinya tali/ ikatan. Maksud dari kata tersebut bahwa manusia dalam hidupnya
diharapkan dapat selalu menjalin tali silaturrahmi kepada sesama (hablum
minannas) dan menjali ikatan kepada Tuhan (hablum minallah).
3. Larungan
Sesaji
Sejarah
munculnya tradisi ritual larungan sesaji sangat erat kaitannya dengan
kejadian-kejadian bersifat malapetaka yang terjadi. Kejadian tersebut
berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan berlangsung pada masyarakat dengan
kultur Jawa yang masih sangatlah kental atau kuat. Berbagai kejadian malapetaka
sering terjadi dalam lingkup dusun khususnya dan Desa Ngebel secara umum. Para
sesepuh dan pinisepuh (tokoh masyarakat) menyarankan agar memberikan sesaji di
tempat-tempat yang dianggap ada penunggunya atau dikeramatkan. Pada akhirnya terwujudlah
suatu kesepakatan bersama tentang pengadaan kegiatan ritual memohon keselamatan
dan bersih desa yang dilangsungkan di Telaga Ngebel Dukuh Nglingi Desa Ngebel
Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo yang diwujudkan dalam serangkaian kegiatan
spiritual dengan inti acara ritual larungan sesaji atau menghanyutkan sesaji.
Diambilnya
lokasi telaga Ngebel disebabkan kepercayaan masyarakat bahwa Telaga Ngebel
merupakan tempat yang memiliki kekuatan gaib dan dipercaya bahwa Telaga Ngebel
sebagai poros kehidupan bagi makhluk hidup di dalam Telaga, manusia, serta
makhluk gaib agar dapat hidup berdampingan.
Rangkaian
prosesi ritual larung sesaji dimulai sejak pagi hari menjelang datangnya malam
1 suro hingga puncak acara pada tengah malam tanggal 1 Suro. Pertama,
memandikan kambing kendhit sebagai sarana karena merupakan suatu simbol untuk
hal yang sangat pantas sebagai ungkapan terima kasih atas berkah yang telah
diberikan. Kemudian kambing kendhit disembelih, darahnya ditampung untuk
dilarung sebagai simbolisasi seperti halnya air telaga dan agar keistimewaan
yang dipersembahkan kepada sang pencipta menjadi berkah. Lalu tasyakuran,
istighosah, tahlil akbar, dan khataman Al-Qur’an, tirakatan (prosesi menahan
diri dari hawa nafsu), membakar kemenyan dengan maksud memberitahukan kepada
arwah leluhur bahwa ada yang dating untuk memohon restu dan keselamatan,
kemudian penguburan kepala kaki kambing kendhit, dan prosesi yang terakhir
yaitu larung sesaji dengan melarung tumpeng dan hasil bumi dengan maksud memberi makan semua makhluk
yang ada di dalam telaga atas segala berkah yang diberikan selama ini.
Seiring
perkembangan zaman, dalam prosesi ritual larung sesaji memasukkan unsur-unsur
agama Islam kedalam suatu rangkaian prosesi ritual di antaranya tasyakuran,
istighosah, tahlil, dan khataman Al-Qur’an dimana tambahan acara dilakukan pada
malam 1 suro menjelang acara inti yaitu larung sesaji. Masyarakat juga membuat
sebuah duplikat acara dimana prosesi acara mirip larung sesaji, akan tetapi
sesaji yang dilarung bukanlah seperti aslinya melainkan menggunakan bahan yang
dibentuk menyerupai bentuk tepung dan lebih besar dari ukuran sesaji pada
larung aslinya.[13]
4. Gajah-gajahan
Gajah-gajahan adalah salah satu bentuk
pertunjukan rakyat Ponorogo selain Reog. Jenis kesenian ini mirip dengan hadroh
atau samproh klasik, terutama alat-alat musiknya. Perbedaannya adalah bahwa
kesenian ini tidak memiliki pakem yang tetap mulai alat-alat musik, gerak tari,
lagu, dan bentuk musiknya berubah seiring perkembangan zaman. Perbedaan paling
utama adalah hadirnya patung gajah yang terbuat dari kertas karton yang
dilekatkan pada kerangka bambu. Dari segi simbol binatang yaitu gajah yang
dijadikan salah satu alatnya, menunjukkan bahwa gajah adalah binatang yang
mudah ditundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan manusia.
Pada awalnya kesenian ini tersebar di lingkungan
komunitas santri atau daerah seputaran mushola/masjid terutama di daerah-daerah
Siman, Mlarak, dan Jetis. Beberapa pimpinan komunitas gajah-gajahan belum bisa memberi keterangan
tentang asal mula kesenian gajah-gajahan ini. Karena dalam komunitas
Gajah-gajahan sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Namun hampir
dapat dipastikan pada awalnya kesenian ini memang dikembangkan oleh komunitas
santri. Gajah-gajahan memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, namun
hanya sebagai kesenian untuk menghibur masyarakat. Selain itu juga memiliki
fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.
D. ANALISIS
PERSPEKTIF PENDIDIKAN
Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang
sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Namun yang terjadi pada pemuda
sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan kebudayaan
itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak
kita pahami. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada generasi penerus
dan pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan kebudayaan lokal
khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah
dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses
pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya
dengan mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
budaya lokal.[14]
Kearifan lokal di dalamnya berisi nilai hidup
yang lahir dari dalam masyarakat itu sendiri dan digunakan untuk mengatur
kehidupan sosial. Penggunaan kearifan lokal sebagai materi pembelajaran
sesungguhnya bukanlah hal baru. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah,
tatkala Ki Hajar Dewantara aktif menjadi anggota kelompok diskusi budaya,
Sarasehan Slasa Kliwonan, dirinya memutuskan untuk mendirikan Sistem Sekolah
Nasional yang benar-benar berjiwa bumi putra (Radcliffe, 1987: 207). Pendidikan
yang berjiwa bumi putra diartikan sebagai pendidikan yang terbebas dari sistem
penjajah Belanda dan menghasilkan sistem among. Sistem among adalah membangun
pendidikan disekeliling anak, dengan secara maksimum memanfaatkan nalurinya
untuk mendidik diri. Sistem among juga mengandung arti persatuan hakiki dalam
kebudayaan Indonesia. Sebagaimana pendidikan anak, hendaknya didasarkan
wataknya yang unik, demikian pula pendidikan bangsa harus dilandaskan pada
kebudayaannya yang unik.
Pengetahuan dan kearifan lokal ini merupakan
realitas yang pasti ada dan dimiliki oleh setiap masyarakat. Bagi Soetomo
(2012: 116), setiap masyarakat mempunyai pengalaman kehidupan yang berbeda,
maka pengetahuan dan kearifan lokal bentuk dan sifatnya juga bervariasi
antarmasyarakat yang berbeda. Kearifan lokal dalam perspektif pendidikan
menjadi modal dasar bagi proses pertumbuhan pendidikan yang berbasis pada nilai
budaya lokal.[15]
Upaya membangun karakter pemuda berbasis
kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur pendidikan dianggap sebagai
langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal yang menjadi peletak dasar
pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber daya
manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas. Jika melihat pada tujuan pendidikan nasional,
maka manusia yang berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif,
tetapi juga afektif dan psikomotor.
Menilik pada pembahasan sebelumnya, mengenai
kearifan lokal di Jawa Tengah dan Ponorogo, Jawa Timur. Masyarakat bisa
menerapkan kearifan lokal sejak dini pada anak-anaknya melalui pendidikan di
sekolah dan di luar sekolah sehingga masing-masing daerah dapat mengoptimalkan
kearifan lokalnya secara mendalam karena pendidikan karakter berbasis kearifan
budaya lokal sudah ditanamkan sejak disekolah dasar sampai perguruan tinggi. Selain
untuk memperkenalkan kebudayaan lokal terhadap kaum pemuda, pendidikan karakter
berbasis kearifan budaya lokal juga memiliki tujuan mengubah sikap dan juga
perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas
kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Manfaat
dari penerapan budaya yang baik juga dapat meningkatkan jiwa gotong royong,
kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, menumbuhkembangkan jiwa
kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, serta tanggap dengan
perkembangan dunia luar.
E. Kesimpulan
Kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan
oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan
pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan
itu dari generasi ke generasi. Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat
dilihat melalui pemahaman dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku
itu dapat dilihat melalui norma-norma, ritual dan tradisi masyarakat Jawa, lagu-lagu
rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa, informasi data dan pengetahuan
yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat pemimpin spiritual, manuskrip atau
kitab-kitab kuno yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, cara-cara
komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, alat
dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu serta kondisi sumber daya
alam atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
(Sartini, 2004).
Di daerah Jawa Tengah terdapat beberapa kebudayaan
lokal yang eksistensinya tetap bertahan sampai sekarang seperti nyadran, pernikahan
adat Jawa, slametan, tedhak siti, grebeg maulud, lagu gundhul pacul, cerita
rakyat legenda rawa pening yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Adapun
di daerah Jawa Timur, propinsi yang ada di bagian timur pulau Jawa ini memiliki
banyak keunikan, diantaranya adalah kebudayaan dan adat istiadat dari di Jawa
Timur. Namun banyak di antaranya kebudayaan Jawa Timur menerima pengaruh dari
propinsi Jawa Tengah. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yaitu kabupaten
Ponorogo memiliki kebudayaan yang tak jauh berbeda dengan Jawa Tengah, beberapa
di antaranya seperti grebeg suro, Reog Ponorogo, gajah-gajah an, dan larung
sesaji.
Dengan demikian, kebudayaan lokal seperti di Jawa Tengah maupun di Ponorogo, Jawa Timur
merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat di suatu
daerah. . Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan
pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan kebudayaan lokal
khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah
dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses
pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya
dengan mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
budaya lokal.
DAFTAR
PUSTAKA
Daksono dan Kardi. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reog
Ponorogo. Ponorogo: Pemda Tingkat II Ponorogo
Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam
Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI
Mundzirin,
Yusuf. 2009. Makna dan Fungsi Gunungan
Dalam Upacara Garebeg. Yogyakarta: Katalog dalam terbitan
Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah
Jawa. Bandung: Mizan Press
Soelarto, B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Jakarta: Kanisius
Wila Huky, D.A. 1986. Pengantar Sosiologi. Surabaya: Usaha Nasional
Achmadi, Asmoro.
2014. “Aksiologi Reog
Ponorogo Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa”. Teologia, Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni
Dwi Purwandari, Riski. 2014. “Simbol dan Makna Ritual Pernikahan Adat
Jawa di Desa Sukomanah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo” Thesis,
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Kastolani dan
Abdullah. 2016. “Yusof Relasi
Islam Dan Budaya Lokal Studi Tentang Tradisi Nyadran Di Desa Sumogawe Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang” Kontemplasi, Volume 04 Nomor 01, Agustus
Maulana Mitanto dan Abraham
Nurcahyo. 2012. “Ritual Larung Sesaji
Telaga Ngebel Ponorogo (Studi Historis dan Budaya)”, Agastya, vol. 02 NO.
02
http://organisasi.org/gundul-pacul-provinsi-jawa-tengah-lirik-lagu-daerah-dan-musik-nasional-indonesia diakses pada 18 April 2018 Pukul 14.09 WIB
https://www.kompasiana.com/faqih_hindami/pendidikan-karakter-berbasis-kearifan-budaya-lokal_552fe6bd6ea83422628b45bb Diakses pada 18
Juni 2018 Pukul 09.00 WIB
[1]
D.A Wila Huky, Pengantar Sosiologi,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 146
[2]
Id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi diakses pada 19 Juni 2018 Pukul 06.21 WIB
[3]
Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI,
2002), hlm. 2
[4] Kastolani dan
Abdullah, “ Yusof Relasi Islam Dan
Budaya Lokal Studi Tentang Tradisi Nyadran Di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang”, dalam Jurnal Kontemplasi, Volume 04 Nomor 01, Agustus 2016 hlm. 64
[5]
Kastolani dan Abdullah…. hlm. 65
[6] Riski Dwi Purwandari, “Simbol dan Makna Ritual Pernikahan Adat
Jawa di Desa Sukomanah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo” Thesis,
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2014 hlm. 78
[7]
B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan
Yogyakarta, (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm. 5
[8]
Yusuf Mundzirin, Makna dan Fungsi Gunungan Dalam Upacara Garebeg, ( Yogyakarta:
Katalog dalam terbitan, 2009) hlm. 66
[9]http://organisasi.org/gundul-pacul-provinsi-jawa-tengah-lirik-lagu-daerah-dan-musik-nasional-indonesia
diakses pada 18 April 2018 Pukul 14.09 WIB
[10]
Asmoro
Achmadi, Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan
Pembangunan Karakter Bangsa
dalam Jurnal Teologia, Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014 hlm. 12
[11]
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, (Bandung: Mizan Press, 1995)
hlm. 221
[12]Daksono
& Kardi, Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo, (Ponorogo: Pemda
Tingkat II Ponorogo, 1996) hlm. 6.
[13] Maulana Mitanto dan Abraham
Nurcahyo, “Ritual Larung Sesaji Telaga
Ngebel Ponorogo (Studi Historis dan Budaya)”, Agastya, vol. 02 NO. 02 Juli
2012 hlm. 47-48
[14]https://www.kompasiana.com/faqih_hindami/pendidikan-karakter-berbasis-kearifan-budaya-lokal_552fe6bd6ea83422628b45bb
Diakses pada 18 Juni 2018 Pukul 09.00 WIB
[15] Sularso, “Revitalisasi
Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Dasar”,
Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar Vol. 2 No. 1 Desember, 2016 hlm. 76
Komentar
Posting Komentar