Ilmu Nasikh dan Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an sejak
pertama kali diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini
mempunyai visi dan misi yang tetap. Hanya saja, semangat al-Qu’ran itu bisa
saja berbeda, ketika ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman
seseorang terhadap al-Qur’an pun dapat saja tepat atau kurang tepat.Hal ini
terjadi karena respon seseorang terhadapal-Qur’an pada kurun waktu tertentu
akan berbeda dengan respon seseorang yang hidup pada kurun waktu lainnya.
Pemahaman
seseorang terhadap suatu teks al-Qur’an sangat ditekankan pada faktor ekstern
yakni pada penguasaan terhadap ilmu-ilmu baru yang relevan yang terkait dengan
teks al-Qur’an yang dimaksud. Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir
al-Mufassirun menjelaskan setidaknya ada lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus
dikuasai oleh seseorang guna memahami teks al-Qur’an, salah satu di antaranya
adalah ilm nasikh wa al-mansukh.[1]
Sehingga fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh ulama,
merupakan bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan realitas.
Bahwa banyak sekali realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan realitas
kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Sama halnya ketika dalam sebuah
negara/lembaga yang mengeluarkan beberapa aturan yang kemudian setelah aturan
tersebut diberlakukan muncul sebuah masalah yang tidak sesuai dengan keadaan
atau kondisi awal. Maka dikeluarkanlah aturan yang baru menggantikan
aturan-aturan lama. Dengan demikian aturan yang terbaru menggantikan atau me
naskh aturan lama.[2]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut.
1.
Apakah
pengertian dari nasikh mansukh?
2.
Bagaimana
pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an?
3.
Apa saja macam-macam nasikh mansukh?
4.
Bagaimana
manfaat dari mempelajari nasikh mansukh?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian nasikh mansukh
2.
Untuk
mengetahui pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an
3.
Untuk
mengetahui macam-macam nasikh mansukh
4.
Untuk
mengetahui manfaat dari mempelajari nasikh mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh Mansukh
Secara
etimologi, Nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan
(izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan
(naql). Adapun secara etimologi para
ulama’ dalam mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi yang sedikit berbeda,
bahwa kata ini telah melewati berbagai perkembangan sehingga sampai menjadi
arti khusus yang sekarang ini, tetapi masih dengan pengertian sama. Jadi Nasikh
adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan.[3]
Mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan,
dihapus, dipindahkan, dan diubah. Sedangkan menurut istilah nasikh wa mansukh
adalah pengalihan atau pemindahan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain;
yang datang kemudian.[4]
Adapun
pengertian dari naskh. Naskh secara izalah (menghilangkan), dan secara bahasa,
naskh berarti pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah
lain, dan lainnya. Dengan demikian naskh (menghapus) karena menghapus dan
menggantikan hukum yang awal turun sedangkan hukum yang pertama disebut sebagai
al mansukh (yang terhapus). Sementara itu penghapusan hukum tersebut dinamakan
al naskh. Jadi, ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan atau hukum
yang datang sebelumnya. Hal ini di karenakan yang terakhir di pandang lebih
luas dan lebih sesuai. Akan tetapi ketentuan tersebut juga harus melalui
prosedur persyaratan dari naskh dan mansukh.
Menurut
Az-Zarkazi, yang di nasakh atau dihapus adalah ayat-ayat Makkiyah, sedang yang
menasakh adalah ayat-ayat Madaniyah. Pemahaman didasarkan pada Makkiyah itu
sebagai ayat yang turun pertama dalam ukuran waktu, dan Madaniyah yang kedua,
maka yang pertama yang dinasakh, dan yang kedua yang menasakh. Namun tidak
berarti setiap yang turun di Mekkah di nasakh oleh yang turun di Madinah.
Prinsip penghapusan itu dilakukan jika antara ayat yang turun di Mekkah dan
Madinah terjadi kontradiksi.[5]
Contoh dari
pengertian diatas misalnya: matahari menghilangkan bayang-bayang; dan angin
menghapus jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya artinya
saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.
Dapat
disimpulkan, nasakh berarti menghilangkan, meniadakan, dan mengganti. Sementara
Mansukh, adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan, dihapus,
dipindahkan, dan diubah.
B.
Pendapat Ulama Tentang Nasakh Dalam Al-Qur’an
Sebenarnya timbulnya teori penghapusan itu adalah berpangkal pada
salah pengertian para sahabat terhadap istilah nasakh. Sepanjang fakta sejarah
yang ada, dapat diketahui bahwa istilah nasakh ini dipakai dalam dua
pengertian. Pertama, membatasi pengertian. Dan kedua, menghapuskan kesalahpengertian. Nasakh yang dimaksudkan
itu bukanlah penghapusan ayat Al-Qur’an melainkan penghapusan kesalahpengertian
terhadap ayat Al-Qur’an, sehingga dengan demikian pengertian yang telah ada itu
dibuang dan digantikan dengan pengertian baru yang benar.[6]
Sebagai
contoh adalah Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 286 yang artinya:
“Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”
Padahal menurut
Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 286 yang artinya:
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Dalam suatu
keterangan yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan bahwa salah seorang dari
sahabat Rasul, mungkin Abdullah Ibn Umar, berpendapat bahwa ayat pertama dihapuskan
(nusikhai) oleh ayat kedua itu.
Pengertian
nasakh ini diperjelas di dalam keterangan lain yang lebih terperinci yang
terdapat di dalam Musnad Ahmad. Menurut keterangan ini, ketika surah Al-Baqarah
[2]: 284 diwahyukan, para sahabat memandangnya sebagai mendapat beban baru yang
belum pernah mereka dapati sebelumnya dan mereka merasa tidak memiliki kekuatan
untuk mengembannya.
Surah
Al-Baqarah [2]: 286 memberikan kejelasan bahwa bukan begitu yang dimaksudkan
oleh Al-Baqarah [2]: 284 itu, sebab Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang diluar batas kemampuannya. Menghilangkan kesalahpengertian ini
dinamakan nasakh (penghapusan) oleh Ibn Umar.[7]
Pembahasan
tentang Nasikh-Mansukh dapat dilihat dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
مَا
نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ
أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِير١٠
“Kami
tidak me-nasakh-kan satu ayat atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya
kecuali kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah
kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
(QS
Al-Baqarah [2]: 106)[8]
Perbedaan
pendapat yang bermuara dari ayat tersebut, memberikan perbedaan pandangan dari
yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Para ulama
mutaqaddimin menafsirkan teks di atas dan teks lain yang senada sebagai adanya
sejumlah teks al-Qur’an yang dihapuskan.
Mereka
menggunakan terma naskh ini mencakup semua bentuk penjelasan. Sehingga naskh
memiliki makna yang lebih umum ketimbang hanya sekedar penghapsan hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Seperti perintah untuk bersabar serta
menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah, dianggap telah
dinasakh oleh perintah perang pada periode Madinah. Demikian juga ketetapan
hukum Islam yang membatalkan perundang-undangan yang berlaku pada masa
Pra-Islam termasuk dalam terminologi naskh juga.[9]
Hasbi
Ash-Shiddiqi menurunkan beberapa nama
yang menafsirkan “ayat” pada Al-Baqarah 106 dengan mukjizat. Diantaranya Syekh
Muhammad Abduh (1325 H) dan Abu Muslim Al-Ashfahaniy (322 H). Kelompok lainnya
yang menjadi “mazhab” mayoritas ulama, tidak mengartikan “ayat” di atas dengan
pengertian lain. Mereka tidak mengartikan kata “ayat”, kecuali dengan kata ayat
itu sendiri.
Hasbi
Ash-Shiddieqi dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir”
menamakan salah satu bab dalam bukunya itu dengan problema Naskhul Quran. Hasbi
yang tidak sepakat dengan terjadinya naskh Al—Quran menurunkan argumentasi
ulama yang semadzahab dengannya, yaitu Abu Muslim Al-Ashfahaniy yang
mengatakan, “Jika dihukumi ada ayat yang telah di mansukhkan dalam al-Qur’an
berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa
di dalam Al-Qur’an ada yang batal (yang salah).”[10]
Pendapat lain
mengatakan, para ulama terbagi atas empat bagian mengenai pandangannya terhadap
nasakh dalam Al-Qur’an.
1.
Orang
Yahudi
Mereka tidak mengakui adanya naskh,
karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badha’, yakni Nampak jelas setelah
tidak jelas. Yang dimaksud mereka adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan
ini mustahil bagi Allah. Serta adakalanya karena suatu hikmah yang sebelumnya
tidak nampak.
2.
Orang
Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebihan dalam
menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al bada’ sebagai
suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka
sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya maka mereka
mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali
bin Abi Tholib RA secara dusta dan palsu.
3.
Abu
Muslim al-Ashafani
Menurutnya, secara logika nasikh
dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara.
4.
Jumhur
ulama
Mereka berpendapat naskh adalah
suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum
syara’, berdasarkan dalil-dalil.
a.
Perbuatan-perbuatan
Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu yang lain. Karena hanya dialah yang maha mengetahui
kepentingan-kepentingan hambanya.
b.
Nas-nas
dan sunah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya.
Misalnya
yang terdapat dalam firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 101
yang berbunyi:
وَإِذَا
بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۢۚ
بَلۡ
أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٠١
Artinya : “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya,…..”
Dan firman
Allah yang lain pada surat al-Baqarah ayat ke-106 yang berbunyi:
مَا
نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ٠
Artinya
: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan,
atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari
padanya atau yang sebanding dengannya……”[11]
5. Ahli
Tahqiq
Menurut pendapat sebagaian ahli tahqiq, Al-qur’an
menggunakan lafal nasakh di segala tempat, sesuai dengan makna yang asli
(hakiki) yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing
manusia. Kemudian Abu Muslim, sebagai seorang ulama’ ahli tahqiq, tidak
membenarkan nasakh dalam arti yang umum. Abu Muslim membatalkan beberapa macam
nasakh, yang menurut pendapatnya berlawanan dengan firman Allah ayat 42 S.41, Fushshilat.
Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasakh ialah takhshish. Beliau mengatakan demikian, untuk menghindari pendirian
membatalkan sesuatu hukum yang telah diturunkan Allah.[12]
C.
Macam-Macam Nasikh dan Mansukh Dalam Al-Qur’an
1.
Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasikh dan
mansukh
Ibnu Jauzi dan para ahli tafsir lainnya
mengatakan, surat-surat dalam Al-qur.an mengandung ayat-ayat nasikh dan
mansukh dibagi sebagai berikut:
a.
Surat-surat
dalam Al-qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh ada 25 surat saja,
yaitu: al–Baqarah, Ali ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, al- Taubah,
Ibrahim, Al-Nahl, Maryam, Al-Anbiya’,al-Hajj, al-Nur, al-Furqan, al-Syu’ara’,
al-Ahzab, Saba’, al-Mu’min, al;Syura, al-Dzariyat, Al-Thur, al-Waqi’ah,
al-Mujadilah, al-Muzammil, al-Takwir dan al-‘Ashr.
b. Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya mengandung ayat-ayat
mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasikh ada 40 surat, yaitu: al-An’am,
al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ra’ad, al-Hijr, al-Isra’, al-Kahfi, Thaha,
al-Mu’minun, al-Naml, al-Qashash, al-Ankabut, al-Rum, Luqman, as-sajdah, Fatir,
al-Shaffat, Shad, al-Zumar, Fush-shilat, al-Zukhruf, a;-Dukhan, al-Jatsiyah,
al-Ahqaf, Muhammad, Qaf, al-Najm, al-Qamar, al-Mumtahanah, Nun, al-Ma’arij,
al-Muddatsir, al-Qiyamah, al-Insan, “Abasa, al-Thariq, al-Ghasyiah, al-tindan,
al-Kafirun.
c.
Surat-surat
yang hanya mengandung ayat-ayat nasikh tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh terdapat 6 surat,yaitu: al-Fath, al-Hayr,
al-Munafiqun, al-Thaghabun, al-Thalaq, danal-A’la.
d.
Surat-surat yang benar-benar bersih dari
ayat-ayat nasikh dan mansukh tersapat 43 surat, yaitu: al-fatihah, Yusuf,
Yasin, al-Hujurat, al-Rahman, al-Hadid, al-Shaf, al-Jumu’ah, altahrim, al-Mulk,
al-Haqqah, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, al-Naba’, al-Nazi’at, al-Infithar,
al-muthaffifin, al-Insyiqaq, al-Buruj, al-Fajr, al-Balad, al-Syams, al-Lail,
al-Dhuha, al-Insyirah, al-Qalam, al-Qadr, al-Insyiqaq, al-Zalzalah, al-A’diyat,
al-Qari’ah, al-Takatsur, al-Lumazah, al-Fill, Quraisy, al-Ma’un, al-Kautsar, al-Nashr,
al-Lahab, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas.[13]
2.
Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya
Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya dalam al-Qur’an
ada 3 macam, yaitu:
a.
Nasakh tilawah (menghapus bacaan) dan juga hukumnya.
Seperti
penghapusan ayat yang mengharamkan nikah dengan saudara sepersusuan dengan 10
kali susuan yang di nasakh dengan 5 kali susuan. Sebagaimana yang disampaikan
Aisyah r.a,
“Adalah termasuk (ayat al-Qur’an) yang diturunkan (yaitu ayat yang menerangkan)
10 kali susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim, kemudian di nasakh dengan
5 kali. Setelah itu Rasulullah meninggal.”
b.
Nasakh hukum sedangkan tilawahnya tetap.
Contoh:
tentang masa ‘iddah selama satu tahun sedang tilawahnya masih ada dalam
al-Qur’an yaitu surat al-Baqarah ayat 240.
“dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri
mereka, dan al-Qur’anlah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini di nasakh dengan
ayat al-Baqarah ayat 234 menjadi 4 bulan 10 hari.
c.
Nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.
Contoh dalam hal ini adalah berkenaan tentang ayat rajam.
Sebagaimana yang di riwayatkan dari Umar bin Khattabdan Ubay bin Ka’b yang
berkata, termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah, “orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya
berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah
SWT, dan Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.”[14]
3.
Macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal
Adapun
macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal dengan adanya pengganti atau tidak
adanya pengganti) dibagi menjdi sebagai berikut:
a. Nasakh
tanpa badal (pengganti). Contoh
penghapusan bersedekah sebelum berbicara kepada Rasulullah, sebagaimana
diperintahkannya dalam surat al-Mujadilah:12. Ayat tersebut di nasakh dengan
surat al-Mujadilah ayat 13.
b. Nasakh
dengan badal mumatsil (sebanding);
menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang. Contohnya me
nasakh ketentuan menghadap Baitul Maqdis dengan mengganti ketentuan menghadap
kiblat ke Ka’bah dalam shalat. Allah
berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 144.
c. Nasakh
dengan badal akhaf (lebih ringan).
Contohnya puasa masa dahulu, dalam surat Al-Baqarah ayat 183 (ayat puasa), di
nasakh dengan ayat al-Baqarah:187.[15]
d. Naskah
dengan badal atsqal (lebih berat).
Contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada istri-istri yang
menyeleweng dengan diganti dengan hukuman dera. Allah berfirman:
“para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina sesama jenis
atau lain jenis), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (QS. Al-Nisa’:15).
Ayat ini di nasakh dengan
al-Nur:2
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan Akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Nur:2) [16]
Diantara
ayat-ayat yang dinyatakan nasikh dan mansukh yaitu :
|
Mansukh
|
Nasikh
|
Masalah
|
1
|
Al-Baqarah:
115
|
Al- Baqarah:
144
|
Kiblat Shalat
|
2
|
Al- Baqarah:
178
|
Al- Maidah:
45
Al- Isra’: 33
|
Qishash dan
hukum
Pembebasan
|
3
|
Al -Baqarah:
183
|
Al- Baqarah:
187
|
Puasa
Ramadhan
|
4
|
Al- Baqarah:
184
|
Al- Baqarah:
185
|
Fidyah atau
menebus puasa
|
5
|
Al -Baqarah:
191
|
Al -Baqarah:
91
|
Membunuh
musuh di Masjidil Haram
|
6
|
Al -Baqarah:
240
|
Al- Baqarah:
234
|
‘Iddah janda
(ditinggal mati suami)
|
7
|
Al- Baqarah:
217
|
At- Taubah: 5
dan 36
|
Berperang di
jalan Allah pada bulan suci
|
8
|
Ali -Imran:
102
|
At-Taghabun:
16
|
Taqwa kepada
Allah
|
9
|
Al-Nisa’:8
|
Al-Nisa’:11
|
Bagian
warisan
|
10
|
Al-Nisa’:
15-16
|
Al-Nur: 2
|
Hukum berzina
(laki-laki/perempuan)
|
11
|
Al-Nisa’: 88
|
Al-Nisa’: 89
dan Al-Taubah: 5
|
Jihad dan
memerangi orang kafir
|
12
|
Al-Maidah:
106
|
Al-Thalaq: 2
|
Saksi
|
13
|
Al-Anfal: 65
|
Al-Anfal: 66
|
Memerangi
orang kafir
|
14
|
Al-Taubah: 39
|
Al-Taubah:
122
|
Berperang
dengan orang kafir
|
15
|
Al-Nur: 3
|
Al-Nur: 32
|
Perkawinan di
antara pelaku zina
|
16
|
Al-Nur: 4
|
Al-Nur: 6
|
Menuduh
perempuan berzina tanpa saksi
|
17
|
Al-Nur: 58
|
Al-Nur: 59
|
Izin anak
untuk masuk kamar orang tua
|
18
|
Al-Ahzab: 52
|
Al-Ahzab: 50
|
Istri-istri
Nabi Muhammad SAW
|
19
|
Al-Mujadilah:
12
|
Al-Mujadilah:
13
|
Bersedekah
pada Rasulullah sebelum mengadakan pembicaraan
|
20
|
Al-Mumtahanah:
11
|
Al-Taubah: 1
|
Memberikan
harta rampasan pada orang kafir untuk mengawini istrinya
|
21
|
Al-Muzzammil:
1,2
|
Al-Muzzammil:20
|
Shalat malam[17]
|
D.
Manfaat dari Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya
al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab suci
Al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun
lebih.
Al-Maraghi secara lebih tegas mengemukakan hikmah adanya nasakh dalam
al-Qur’an. Ia menyatakan bahwasannya, hukum-hukum tidak diundangkan kecuali
untuk kemashlahatan manusia, dan hal ini dapat berubah atau berbeda, akibat
perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada suatu hukum yang diundangkan
pada suatu waktu karena adanya kebutuhan tersebut, maka hal ini merupakan suatu
tindakan bijaksana apabila ia dinasakh dan diganti dengan hukum yang sesuai
dengan kebutuhan berikutnya. Dengan demikian, maka akan menjadi lebih baik dari
hukum semula, atau setidaknya sama dengan hukum yang dinasakh dari segi
manfaatnya bagi hamba-hamba Allah.[18]
Adapun manfaat mempelajari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an
secara terperinci sebagai berikut.
1.
Memelihara
kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
2.
Cobaan
dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
3.
Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengundang kemudahan dan keringanan.[19]
5.
Menunjukkan
bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling
sempurna, yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya. Karena
syariat Islam telah mencakup ajaran-ajaran sebelumnya.
6.
Untuk
menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka
masih taat atau sebaliknya.[20]
7.
Agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Sebagaimana perkataan
Ali r.a kepada seorang hakim. Yang artinya: Diriwayatkan,
Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu
mengetahui Nasakh dan Mansukh? “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali
“celakalah kamu, dan kamu mencelakakan orang lain.”[21]
Selain memberikan manfaat ketika mempelajari nasikh dan mansukh,
terdapat beberapa rintangan dalam memahami Al-qur’an dan menafsirkannya adalah dakwaan
adanya nasakh (penghapusan hukum) suatu ayat Al-qur’an, tanpa adanya bukti yang
meyakinkan dan mewajibkan nasakh itu. Allah SWT menurunkan kitab suci ini agar
diamalkan isinya, perintah-perintahnya dijalankan, larangannya dijauhi, dan
hududnya tidak dilanggar. Seperti firman Allah SWT setelah membicarakan talak
dan khulu’
“….itulah hukum-hukum
Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah:229)
Seperti diketahui ada tiga kecenderungan dalam masalah ini semenjak
lama salah satunya yaitu ada yang meluaskan diri dalam mengklaim adanya nasakh
dan mansukh dalam Al-qur’an dan berpendapat bahwa ayat sekian dalam surat
sekian di nasakh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap penasakhan itu.[22]
Untuk
itulah, sebagai umat muslim di era ini, sebaiknya pandai dalam menempatkan diri
pada nasakh yang terbukti kebenarannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai materi Nasikh dan Mansukh di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Nasikh adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah,
dan memindahkan. Mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan,
dihapus, dipindahkan, dan diubah.
2. Para ulama terbagi atas empat bagian mengenai pandangannya terhadap
nasakh dalam Al-Qur’an.
a.
Orang
Yahudi
Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh
mengandung konsep al-badha’
b.
Orang
Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya.
c.
Abu
Muslim al-Ashafani
Menurutnya, secara logika nasikh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara.
d.
Jumhur
ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal
dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil.
3.
Macam-Macam
Nasikh dan Mansukh Dalam Al-Qur’an
a.
Macam-macam
surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh
1)
Surat-surat dalam Al-qur’an yang mengandung
ayat-ayat nasikh dan mansukh ada 25 surat saja.
2)
Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya
mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasikh ada 40 surat;
3)
Surat-surat
yang hanya mengandung ayat-ayat nasikh tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh terdapat 6 surat/
4)
Surat-surat
yang benar-benar bersih dari ayat-ayat nasikh dan mansukh terdapat 43 surat.
b.
Macam-macam
nasakh dari segi hukum dan tilawahnya
1)
Nasakh
tilawah (menghapus bacaan) dan juga hukumnya.
2)
Nasakh
hukum sedangkan tilawahnya tetap.
3)
Nasakh
tilawah sedangkan hukumnya tetap.
c.
Macam-macam
nasakh ditinjau dari segi badal
1)
Nasakh tanpa badal (pengganti)
2)
Nasakh dengan badal mumatsil (sebanding);
menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang
3)
Nasakh dengan badal akhaf (lebih ringan).
4)
Naskah dengan badal atsqal (lebih berat).
Ayat-ayat yang dinyatakan nansikh dan mansukh terdapat dalam 21
surah.
4.
Manfaat
dari Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Adapun manfaat mempelajari nasikh
dan mansukh dalam al-Qur’an secara terperinci sebagai berikut.
a.
Memelihara
kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
b.
Cobaan
dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
c.
Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
d.
Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat.
e.
Menunjukkan
bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling sempurna,
yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya.
f.
Untuk
menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka
masih taat atau sebaliknya.
B.
Saran
Sebaiknya, sebagai umat muslim untuk lebih selektif ketika
menghadapi nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an supaya tidak salah dalam
mengambil keputusan dalam hal keaqidahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Abu. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta:
Amzah
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.
2002. Ilmu-Ilmu Alqur’an. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra
Efendi, Nur dan Fathurrohman, Muhammad. 2014. Studi Al-Qur’an.
Yogyakarta: Teras
Gufron,
Mohammad dan Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an: Praktis dan Mudah.
Yogyakarta: Teras
Hawi, Akmal. 2014. Dasar-Dasar Studi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Hermawan, Acep. 2013. Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Nor Ichwan,
Mohammad. 2008. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group
Qardhawi,Yusuf.
1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta:
Gema Insani Press
Usman.
2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Teras
Wijaya,
Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum
Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
BIODATA
PENULIS
Nama : Keytrin Surya Itsan
NIM : 1603096001
TTL : Ponorogo, 11 Maret 1998
Alamat : Jl. Parang Menang GG I No. 5 A
Desa Patihan Wetan, Babadan, Ponorogo
Riwayat Pendidikan:
-
MI Ma’arif Patihan Wetan
-
SMPN 4 Ponorogo
-
SMAN 1 Babadan Ponorogo
-Menempuh
S 1 di UIN Walisongo Semarang, Prodi
: PGMI
|
Nama : Medy Nadirawati
NIM : 1603096026
TTL : Banjarnegara, 28 Juli 1998
Alamat : Gentansari, Pagedongan,
Banjarnegara
Riwayat Pendidikan:
-
SDN 1
Gentansari
-
SMP 4
Banjarnegara
-
MAN 1
Banjarnegara
-
Menempuh S1
di UIN Walisongo Semarang, Prodi: PGMI
|
Nama : Faza Alfiatul Muyassaroh
NIM : 1603096009
TTL : Pati, 22 April 1998
Alamat : Desa
Sidomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati
Riwayat Pendidikan:
-MI
Miftahul Huda
-MTs
Miftahul Huda
-MA
NU Nurul Ulum Kudus
-Menempuh
S1 di UIN Walisongo Semarang, Prodi: PGMI
|
[1]
Mohammad Nor Ichwan, M.Ag. Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. (Semarang: RaSAIL Media Goup. 2008) hlm. 105-106
[3] Ibid., hlm. 238-239
[4] Mohammad Gufron, M.Pd dan
Rahmawati, M.A. Ulumul Qur’an: Praktis
dan Mudah. (Yogyakarta: Teras. 2013) hlm. 63
[5] Dr. Aksin Wijaya, SH., M.Ag., Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.2009) hlm. 135.
[6] Dr. H. Akmal Hawi, M.Ag.. Dasar-Dasar Studi Islam. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2014) hlm. 82
[9] Akmal Hawi, Op.cit., hlm. 114-115
[10] Acep Hermawan. Op.cit., hlm.162-163
[11] Nur Efendi dan Muhammad
Fathurrohman. Op.cit., hlm.244-245
[12] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy.Ilmu-Ilmu Alqur’an.(Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra. 2002) hlm. 151-152
[14] Ibid., hlm. 66-69
[15] Ibid., hlm. 69-70
[16] Ibid., hlm. 69-72
[18] Dr. Usman, M.Ag. Ulumul Qur’an. ( Yogyakarta: Teras.
2009) hlm. 261-262
[19] Nur Efendi dan Muhammad
Fathurohman, Op.cit., hlm. 251-252
[20] Mohammad Gufron dan Rahmawati. Op.cit., hlm. 72
[21] Drs. Abu Anwar, M.Ag. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2002)
hlm. 52-53
[22] Dr. Yusuf Qardhawi. Berinteraksi dengan Al-Qur’an.(Jakarta:
Gema Insani Press.1999) hlm. 466-467
Komentar
Posting Komentar