Ilmu Nasikh dan Mansukh



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Hanya saja, semangat al-Qu’ran itu bisa saja berbeda, ketika ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an pun dapat saja tepat atau kurang tepat.Hal ini terjadi karena respon seseorang terhadapal-Qur’an pada kurun waktu tertentu akan berbeda dengan respon seseorang yang hidup pada kurun waktu lainnya.
Pemahaman seseorang terhadap suatu teks al-Qur’an sangat ditekankan pada faktor ekstern yakni pada penguasaan terhadap ilmu-ilmu baru yang relevan yang terkait dengan teks al-Qur’an yang dimaksud. Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir al-Mufassirun menjelaskan setidaknya ada lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai oleh seseorang guna memahami teks al-Qur’an, salah satu di antaranya adalah ilm nasikh wa al-mansukh.[1]
Sehingga fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh ulama, merupakan bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan realitas. Bahwa banyak sekali realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan realitas kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Sama halnya ketika dalam sebuah negara/lembaga yang mengeluarkan beberapa aturan yang kemudian setelah aturan tersebut diberlakukan muncul sebuah masalah yang tidak sesuai dengan keadaan atau kondisi awal. Maka dikeluarkanlah aturan yang baru menggantikan aturan-aturan lama. Dengan demikian aturan yang terbaru menggantikan atau me naskh aturan lama.[2]


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Apakah pengertian dari nasikh mansukh?
2.      Bagaimana pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an?
3.       Apa saja macam-macam nasikh mansukh?
4.      Bagaimana manfaat dari mempelajari nasikh mansukh?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh
2.      Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui macam-macam nasikh mansukh
4.      Untuk mengetahui manfaat dari mempelajari nasikh mansukh




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasikh Mansukh
Secara etimologi, Nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql).  Adapun secara etimologi para ulama’ dalam mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi yang sedikit berbeda, bahwa kata ini telah melewati berbagai perkembangan sehingga sampai menjadi arti khusus yang sekarang ini, tetapi masih dengan pengertian sama. Jadi Nasikh adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan.[3]
Mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan, dihapus, dipindahkan, dan diubah. Sedangkan menurut istilah nasikh wa mansukh adalah pengalihan atau pemindahan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain; yang datang kemudian.[4]
Adapun pengertian dari naskh. Naskh secara izalah (menghilangkan), dan secara bahasa, naskh berarti pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, dan lainnya. Dengan demikian naskh (menghapus) karena menghapus dan menggantikan hukum yang awal turun sedangkan hukum yang pertama disebut sebagai al mansukh (yang terhapus). Sementara itu penghapusan hukum tersebut dinamakan al naskh. Jadi, ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan atau hukum yang datang sebelumnya. Hal ini di karenakan yang terakhir di pandang lebih luas dan lebih sesuai. Akan tetapi ketentuan tersebut juga harus melalui prosedur persyaratan dari naskh dan mansukh.
Menurut Az-Zarkazi, yang di nasakh atau dihapus adalah ayat-ayat Makkiyah, sedang yang menasakh adalah ayat-ayat Madaniyah. Pemahaman didasarkan pada Makkiyah itu sebagai ayat yang turun pertama dalam ukuran waktu, dan Madaniyah yang kedua, maka yang pertama yang dinasakh, dan yang kedua yang menasakh. Namun tidak berarti setiap yang turun di Mekkah di nasakh oleh yang turun di Madinah. Prinsip penghapusan itu dilakukan jika antara ayat yang turun di Mekkah dan Madinah terjadi kontradiksi.[5]
Contoh dari pengertian diatas misalnya: matahari menghilangkan bayang-bayang; dan angin menghapus jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya artinya saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.
Dapat disimpulkan, nasakh berarti menghilangkan, meniadakan, dan mengganti. Sementara Mansukh, adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan, dihapus, dipindahkan, dan diubah.
B.     Pendapat Ulama Tentang Nasakh Dalam Al-Qur’an
Sebenarnya timbulnya teori penghapusan itu adalah berpangkal pada salah pengertian para sahabat terhadap istilah nasakh. Sepanjang fakta sejarah yang ada, dapat diketahui bahwa istilah nasakh ini dipakai dalam dua pengertian. Pertama, membatasi pengertian. Dan kedua, menghapuskan  kesalahpengertian. Nasakh yang dimaksudkan itu bukanlah penghapusan ayat Al-Qur’an melainkan penghapusan kesalahpengertian terhadap ayat Al-Qur’an, sehingga dengan demikian pengertian yang telah ada itu dibuang dan digantikan dengan pengertian baru yang benar.[6]
Sebagai contoh adalah Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 286 yang artinya:
“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”
Padahal menurut Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 286 yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Dalam suatu keterangan yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan bahwa salah seorang dari sahabat Rasul, mungkin Abdullah Ibn Umar, berpendapat bahwa ayat pertama dihapuskan (nusikhai) oleh ayat kedua itu.
Pengertian nasakh ini diperjelas di dalam keterangan lain yang lebih terperinci yang terdapat di dalam Musnad Ahmad. Menurut keterangan ini, ketika surah Al-Baqarah [2]: 284 diwahyukan, para sahabat memandangnya sebagai mendapat beban baru yang belum pernah mereka dapati sebelumnya dan mereka merasa tidak memiliki kekuatan untuk mengembannya.
Surah Al-Baqarah [2]: 286 memberikan kejelasan bahwa bukan begitu yang dimaksudkan oleh Al-Baqarah [2]: 284 itu, sebab Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang diluar batas kemampuannya. Menghilangkan kesalahpengertian ini dinamakan nasakh (penghapusan) oleh Ibn Umar.[7]
Pembahasan tentang Nasikh-Mansukh dapat dilihat dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِير١٠
“Kami tidak me-nasakh-kan satu ayat atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
(QS Al-Baqarah [2]: 106)[8]
Perbedaan pendapat yang bermuara dari ayat tersebut, memberikan perbedaan pandangan dari yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Para ulama mutaqaddimin menafsirkan teks di atas dan teks lain yang senada sebagai adanya sejumlah teks al-Qur’an yang dihapuskan.
Mereka menggunakan terma naskh ini mencakup semua bentuk penjelasan. Sehingga naskh memiliki makna yang lebih umum ketimbang hanya sekedar penghapsan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Seperti perintah untuk bersabar serta menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah perang pada periode Madinah. Demikian juga ketetapan hukum Islam yang membatalkan perundang-undangan yang berlaku pada masa Pra-Islam termasuk dalam terminologi naskh juga.[9]
Hasbi Ash-Shiddiqi  menurunkan beberapa nama yang menafsirkan “ayat” pada Al-Baqarah 106 dengan mukjizat. Diantaranya Syekh Muhammad Abduh (1325 H) dan Abu Muslim Al-Ashfahaniy (322 H). Kelompok lainnya yang menjadi “mazhab” mayoritas ulama, tidak mengartikan “ayat” di atas dengan pengertian lain. Mereka tidak mengartikan kata “ayat”, kecuali dengan kata ayat itu sendiri.
Hasbi Ash-Shiddieqi dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir” menamakan salah satu bab dalam bukunya itu dengan problema Naskhul Quran. Hasbi yang tidak sepakat dengan terjadinya naskh Al—Quran menurunkan argumentasi ulama yang semadzahab dengannya, yaitu Abu Muslim Al-Ashfahaniy yang mengatakan, “Jika dihukumi ada ayat yang telah di mansukhkan dalam al-Qur’an berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada yang batal (yang salah).”[10]
Pendapat lain mengatakan, para ulama terbagi atas empat bagian mengenai pandangannya terhadap nasakh dalam Al-Qur’an.
1.      Orang Yahudi
Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badha’, yakni Nampak jelas setelah tidak jelas. Yang dimaksud mereka adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Serta adakalanya karena suatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak.

2.      Orang Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya maka mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali bin Abi Tholib RA secara dusta dan palsu.

3.      Abu Muslim al-Ashafani
Menurutnya, secara logika nasikh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara.

4.      Jumhur ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil.
a.       Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu yang lain. Karena hanya dialah yang maha mengetahui kepentingan-kepentingan hambanya.
b.      Nas-nas dan sunah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya.
Misalnya yang terdapat dalam firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 101 yang berbunyi:

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۢۚ
بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٠١
Artinya : “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,…..”

Dan firman Allah yang lain pada surat al-Baqarah ayat ke-106 yang berbunyi:
مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ٠
Artinya : “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya……”[11]
5.      Ahli Tahqiq
Menurut pendapat sebagaian ahli tahqiq, Al-qur’an menggunakan lafal nasakh di segala tempat, sesuai dengan makna yang asli (hakiki) yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Kemudian Abu Muslim, sebagai seorang ulama’ ahli tahqiq, tidak membenarkan nasakh dalam arti yang umum. Abu Muslim membatalkan beberapa macam nasakh, yang menurut pendapatnya berlawanan dengan firman Allah ayat 42 S.41, Fushshilat. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasakh ialah takhshish. Beliau mengatakan demikian, untuk menghindari pendirian membatalkan sesuatu hukum yang telah diturunkan Allah.[12]

C.    Macam-Macam Nasikh dan Mansukh Dalam Al-Qur’an
1.      Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh

        Ibnu Jauzi dan para ahli tafsir lainnya mengatakan, surat-surat dalam Al-qur.an mengandung ayat-ayat nasikh  dan  mansukh dibagi sebagai berikut:

a.       Surat-surat dalam Al-qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh ada 25 surat saja, yaitu: al–Baqarah, Ali ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, al- Taubah, Ibrahim, Al-Nahl, Maryam, Al-Anbiya’,al-Hajj, al-Nur, al-Furqan, al-Syu’ara’, al-Ahzab, Saba’, al-Mu’min, al;Syura, al-Dzariyat, Al-Thur, al-Waqi’ah, al-Mujadilah, al-Muzammil, al-Takwir dan al-‘Ashr.
b. Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasikh ada 40 surat, yaitu: al-An’am, al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ra’ad, al-Hijr, al-Isra’, al-Kahfi, Thaha, al-Mu’minun, al-Naml, al-Qashash, al-Ankabut, al-Rum, Luqman, as-sajdah, Fatir, al-Shaffat, Shad, al-Zumar, Fush-shilat, al-Zukhruf, a;-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, Qaf, al-Najm, al-Qamar, al-Mumtahanah, Nun, al-Ma’arij, al-Muddatsir, al-Qiyamah, al-Insan, “Abasa, al-Thariq, al-Ghasyiah, al-tindan, al-Kafirun.
c.       Surat-surat yang hanya mengandung ayat-ayat nasikh tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh  terdapat 6 surat,yaitu: al-Fath, al-Hayr, al-Munafiqun, al-Thaghabun, al-Thalaq, danal-A’la.
d.       Surat-surat yang benar-benar bersih dari ayat-ayat nasikh dan mansukh tersapat 43 surat, yaitu: al-fatihah, Yusuf, Yasin, al-Hujurat, al-Rahman, al-Hadid, al-Shaf, al-Jumu’ah, altahrim, al-Mulk, al-Haqqah, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, al-Naba’, al-Nazi’at, al-Infithar, al-muthaffifin, al-Insyiqaq, al-Buruj, al-Fajr, al-Balad, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Insyirah, al-Qalam, al-Qadr, al-Insyiqaq, al-Zalzalah, al-A’diyat, al-Qari’ah, al-Takatsur, al-Lumazah, al-Fill, Quraisy, al-Ma’un, al-Kautsar, al-Nashr, al-Lahab, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas.[13]

2.      Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya                Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu:
a.      Nasakh tilawah (menghapus bacaan) dan juga hukumnya.
Seperti penghapusan ayat yang mengharamkan nikah dengan saudara sepersusuan dengan 10 kali susuan yang di nasakh dengan 5 kali susuan. Sebagaimana yang disampaikan Aisyah r.a,
“Adalah termasuk (ayat al-Qur’an) yang diturunkan (yaitu ayat yang menerangkan) 10 kali susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim, kemudian di nasakh dengan 5 kali. Setelah itu Rasulullah meninggal.”

b.      Nasakh hukum sedangkan tilawahnya tetap.
Contoh: tentang masa ‘iddah selama satu tahun sedang tilawahnya masih ada dalam al-Qur’an yaitu surat al-Baqarah ayat 240.
“dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka, dan al-Qur’anlah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
 Ayat ini di nasakh dengan ayat al-Baqarah ayat 234 menjadi 4 bulan 10 hari.

c.       Nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.
Contoh dalam hal ini adalah berkenaan tentang ayat rajam. Sebagaimana yang di riwayatkan dari Umar bin Khattabdan Ubay bin Ka’b yang berkata, termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah, “orang tua  laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah SWT, dan Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.”[14]

3.      Macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal
Adapun macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal dengan adanya pengganti atau tidak adanya pengganti) dibagi menjdi sebagai berikut:
a.       Nasakh tanpa badal (pengganti). Contoh penghapusan bersedekah sebelum berbicara kepada Rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat al-Mujadilah:12. Ayat tersebut di nasakh dengan surat al-Mujadilah ayat 13.
b.      Nasakh dengan badal mumatsil (sebanding); menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang. Contohnya me nasakh ketentuan menghadap Baitul Maqdis dengan mengganti ketentuan menghadap kiblat ke Ka’bah dalam shalat. Allah  berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 144.
c.       Nasakh dengan badal akhaf (lebih ringan). Contohnya puasa masa dahulu, dalam surat Al-Baqarah ayat 183 (ayat puasa), di nasakh dengan ayat al-Baqarah:187.[15]
d.      Naskah dengan badal atsqal (lebih berat). Contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada istri-istri yang menyeleweng dengan diganti dengan hukuman dera. Allah berfirman:
“para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina sesama jenis atau lain jenis), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (QS. Al-Nisa’:15).
                   Ayat ini di nasakh dengan al-Nur:2
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan Akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Nur:2) [16]
Diantara ayat-ayat yang dinyatakan nasikh dan mansukh yaitu :

Mansukh
Nasikh
Masalah
1
Al-Baqarah: 115
Al- Baqarah: 144
Kiblat Shalat
2
Al- Baqarah: 178
Al- Maidah: 45
Al- Isra’: 33
Qishash dan hukum
Pembebasan
3
Al -Baqarah: 183
Al- Baqarah: 187
Puasa Ramadhan
4
Al- Baqarah: 184
Al- Baqarah: 185
Fidyah atau menebus puasa
5
Al -Baqarah: 191
Al -Baqarah: 91
Membunuh musuh di Masjidil Haram
6
Al -Baqarah: 240
Al- Baqarah: 234
‘Iddah janda (ditinggal mati suami)
7
Al- Baqarah: 217
At- Taubah: 5 dan 36
Berperang di jalan Allah pada bulan suci
8
Ali -Imran: 102
At-Taghabun: 16
Taqwa kepada Allah
9
Al-Nisa’:8
Al-Nisa’:11
Bagian warisan
10
Al-Nisa’: 15-16
Al-Nur: 2
Hukum berzina (laki-laki/perempuan)
11
Al-Nisa’: 88
Al-Nisa’: 89 dan Al-Taubah: 5
Jihad dan memerangi orang kafir
12
Al-Maidah: 106
Al-Thalaq: 2
Saksi
13
Al-Anfal: 65
Al-Anfal: 66
Memerangi orang kafir
14
Al-Taubah: 39
Al-Taubah: 122
Berperang dengan orang kafir
15
Al-Nur: 3
Al-Nur: 32
Perkawinan di antara pelaku zina
16
Al-Nur: 4
Al-Nur: 6
Menuduh perempuan berzina tanpa saksi
17
Al-Nur: 58
Al-Nur: 59
Izin anak untuk masuk kamar orang tua
18
Al-Ahzab: 52
Al-Ahzab: 50
Istri-istri Nabi Muhammad SAW
19
Al-Mujadilah: 12
Al-Mujadilah: 13
Bersedekah pada Rasulullah sebelum mengadakan pembicaraan
20
Al-Mumtahanah: 11
Al-Taubah: 1
Memberikan harta rampasan pada orang kafir untuk mengawini istrinya
21
Al-Muzzammil: 1,2
Al-Muzzammil:20
Shalat malam[17]
   
D.    Manfaat dari Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab suci Al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Al-Maraghi secara lebih tegas mengemukakan hikmah adanya nasakh dalam al-Qur’an. Ia menyatakan bahwasannya, hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemashlahatan manusia, dan hal ini dapat berubah atau berbeda, akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada suatu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan tersebut, maka hal ini merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia dinasakh dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan kebutuhan berikutnya. Dengan demikian, maka akan menjadi lebih baik dari hukum semula, atau setidaknya sama dengan hukum yang dinasakh dari segi manfaatnya bagi hamba-hamba Allah.[18]
Adapun manfaat mempelajari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an secara terperinci sebagai berikut.
1.      Memelihara kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
2.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
3.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengundang kemudahan dan keringanan.[19]
5.      Menunjukkan bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling sempurna, yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya. Karena syariat Islam telah mencakup ajaran-ajaran sebelumnya.
6.      Untuk menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka masih taat atau sebaliknya.[20]
7.      Agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Sebagaimana perkataan Ali r.a kepada seorang hakim. Yang artinya: Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh? “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakalah kamu, dan kamu mencelakakan orang lain.”[21]

Selain memberikan manfaat ketika mempelajari nasikh dan mansukh, terdapat beberapa rintangan dalam memahami Al-qur’an dan menafsirkannya adalah dakwaan adanya nasakh (penghapusan hukum) suatu ayat Al-qur’an, tanpa adanya bukti yang meyakinkan dan mewajibkan nasakh itu. Allah SWT menurunkan kitab suci ini agar diamalkan isinya, perintah-perintahnya dijalankan, larangannya dijauhi, dan hududnya tidak dilanggar. Seperti firman Allah SWT setelah membicarakan talak dan khulu’
“….itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah:229)
Seperti diketahui ada tiga kecenderungan dalam masalah ini semenjak lama salah satunya yaitu ada yang meluaskan diri dalam mengklaim adanya nasakh dan mansukh dalam Al-qur’an dan berpendapat bahwa ayat sekian dalam surat sekian di nasakh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap penasakhan itu.[22]
Untuk itulah, sebagai umat muslim di era ini, sebaiknya pandai dalam menempatkan diri pada nasakh yang terbukti kebenarannya.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai materi Nasikh dan Mansukh di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1.      Nasikh adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan. Mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, dibatalkan, digantikan, dihapus, dipindahkan, dan diubah.

2.      Para ulama terbagi atas empat bagian mengenai pandangannya terhadap nasakh dalam Al-Qur’an.
a.       Orang Yahudi
Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badha’
b.      Orang Syi’ah Rafidah
Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya.
c.       Abu Muslim al-Ashafani
Menurutnya, secara logika nasikh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara.
d.      Jumhur ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil.

3.      Macam-Macam Nasikh dan Mansukh Dalam Al-Qur’an
a.       Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh
1)    Surat-surat dalam Al-qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh dan mansukh ada 25 surat saja.
2)    Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasikh ada 40 surat;
3)   Surat-surat yang hanya mengandung ayat-ayat nasikh tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh  terdapat 6 surat/
4)      Surat-surat yang benar-benar bersih dari ayat-ayat nasikh dan mansukh terdapat 43 surat.

b.      Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya
1)   Nasakh tilawah (menghapus bacaan) dan juga hukumnya.
2)   Nasakh hukum sedangkan tilawahnya tetap.
3)   Nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.

c.       Macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal
1)    Nasakh tanpa badal (pengganti)
2)    Nasakh dengan badal mumatsil (sebanding); menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang
3)    Nasakh dengan badal akhaf (lebih ringan).
4)    Naskah dengan badal atsqal (lebih berat).
Ayat-ayat yang dinyatakan nansikh dan mansukh terdapat dalam 21 surah.
4.      Manfaat dari Mempelajari Nasikh dan Mansukh
Adapun manfaat mempelajari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an secara terperinci sebagai berikut.
a.       Memelihara kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
b.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
c.       Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
d.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
e.       Menunjukkan bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling sempurna, yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya.
f.       Untuk menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka masih taat atau sebaliknya.


B.     Saran

Sebaiknya, sebagai umat muslim untuk lebih selektif ketika menghadapi nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an supaya tidak salah dalam mengambil keputusan dalam hal keaqidahan.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta: Amzah
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Alqur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Efendi, Nur dan Fathurrohman, Muhammad. 2014. Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras
Gufron, Mohammad dan Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an: Praktis dan Mudah. Yogyakarta: Teras
Hawi, Akmal. 2014. Dasar-Dasar Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hermawan, Acep. 2013. Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nor Ichwan, Mohammad. 2008. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group
Qardhawi,Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras
Wijaya, Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar




BIODATA PENULIS
Nama   : Keytrin Surya Itsan
NIM    : 1603096001
TTL     : Ponorogo, 11 Maret 1998
Alamat            : Jl. Parang Menang GG I No. 5 A Desa Patihan Wetan, Babadan, Ponorogo
Riwayat Pendidikan:
- MI Ma’arif Patihan Wetan
- SMPN 4 Ponorogo
- SMAN 1 Babadan Ponorogo
-Menempuh S 1 di UIN Walisongo  Semarang, Prodi : PGMI
Nama   : Medy Nadirawati
NIM    : 1603096026
TTL     : Banjarnegara, 28 Juli 1998
Alamat            : Gentansari, Pagedongan, Banjarnegara
Riwayat Pendidikan:
-          SDN 1 Gentansari
-          SMP 4 Banjarnegara
-          MAN 1 Banjarnegara
-          Menempuh S1 di UIN Walisongo Semarang, Prodi: PGMI

Nama   : Faza Alfiatul Muyassaroh
NIM    : 1603096009
TTL     : Pati, 22 April 1998
Alamat : Desa Sidomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati
Riwayat Pendidikan:
-MI Miftahul Huda
-MTs Miftahul Huda
-MA NU Nurul Ulum Kudus
-Menempuh S1 di UIN Walisongo Semarang, Prodi: PGMI





 [1] Mohammad Nor Ichwan, M.Ag. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. (Semarang: RaSAIL Media Goup. 2008)  hlm. 105-106

 [2] Dr. Nur Efendi, M.Ag dan Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I. Studi Al-Qur’an. (Yogyakarta: Teras . 2014) hlm. 237-238
[3] Ibid., hlm. 238-239
[4] Mohammad Gufron, M.Pd dan Rahmawati, M.A. Ulumul Qur’an: Praktis dan Mudah. (Yogyakarta: Teras. 2013) hlm. 63
[5] Dr. Aksin Wijaya, SH., M.Ag., Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2009) hlm. 135.
[6] Dr. H. Akmal Hawi, M.Ag.. Dasar-Dasar Studi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2014)  hlm. 82
                [7] Ibid., hlm. 83
[8] Mohammad Gufron dan Rahmawati. Op.cit., hlm. 64



[9] Akmal Hawi, Op.cit., hlm. 114-115
[10] Acep Hermawan. Op.cit., hlm.162-163
[11] Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman. Op.cit., hlm.244-245
[12] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Ilmu-Ilmu Alqur’an.(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2002) hlm. 151-152
 [13] Mohammad Gufron dan Rahmawati. Op.cit.,  hlm. 65-66
[14] Ibid., hlm. 66-69
[15] Ibid., hlm. 69-70
[16] Ibid., hlm. 69-72
[17] Ibid., hlm. 72-74
[18] Dr. Usman, M.Ag. Ulumul Qur’an. ( Yogyakarta: Teras. 2009) hlm. 261-262
[19] Nur Efendi dan Muhammad Fathurohman, Op.cit., hlm. 251-252
[20] Mohammad Gufron dan Rahmawati. Op.cit., hlm. 72
[21] Drs. Abu Anwar, M.Ag. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Amzah. 2002) hlm. 52-53
[22] Dr. Yusuf Qardhawi. Berinteraksi dengan Al-Qur’an.(Jakarta: Gema Insani Press.1999) hlm. 466-467

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Bali 2018