Istinja' dan Istijmar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istinja’ dan Istijmar
1.
Pengertian
Istinja’
Secara bahasa kata istinja’ ( اسنتجاء ) yang berasal dari bahasa Arab ini bermakna menghilangkan
kotoran. Dapat dijabarkan, istinja`
menurut bahasa adalah dua perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis,
yaitu tahi. Adapun menurut istilah syara istinja adalah perbuatan yang dilakukan
untuk menghilangakan najis dengan menggunakan benda seperti air atau batu.
Selain istilah istinja’ ada dua istilah lain yang mirip
dan terkait erat yaitu istijmar ( استجمار ) dan istibra’ (استبراء ) Istijmar adalah menghilangkan sisa buang air
dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya. Sedangkan istibra’ bermakna menghabiskan sisa
kotoran atau air kencing hingga yakin sudah benar-benar keluar semua.[1] Jadi, Istinja’ merupakan
tindakan menghilangkan najis yang kotor meskipun najis tersebut jarang keluar
seperti darah, air madzi, dan air wadi. Pembersihan itu juga bukan dilakukan
begitu saja, melainkan dilakukan ketika ada keperluan saja, yaitu dengan
menggunakan air ataupun batu.
Oleh sebab itu, istinja’ bukan untuk menghilangkan najis akibat angin (kentut), karena bangun
tidur. Benda
yang digunakan untuk istinja` ataupun istithabah
adalah air ataupun bahan lain yang dapat digunakan untuk menghilangkan najis.[2]
2.
Pengertian
istijmar
Istijmar
adalah membersihkan najis dari qubul dan dubur setelah buang air kecil
(kencing) atau buang air besar dengan menggunakan batu dan yang semisalnya.
Yang semisalnya, seperti tissue. Tapi di syaratkan tidak kurang dari tiga
helai. Dan juga tidak menggunakan benda
yang di larang. Seperti: kotoran hewan yang telah kering, tulang belulang hewan
atau larangan lainnya seperti makanan dan seterusnya. Istijmar di perbolehkan,
baik tersedianya air maupun tidak.[3]
B. Hukum Istinja’ dan Istijmar
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum istinja’ menjadi dua
hukum, yaitu :
1.
Wajib
Mereka berpendapat bahwa istinja’ itu
hukumnya wajib ketika ada sebabnya. Dan sebabnya adalah adanya sesuatu yang
keluar dari tubuh lewat dua lubang (anus atau kemaluan).
Pendapat ini didukung oleh Al Malikiyah Asy-Syafi’iyah dan Al Hanabilah. Sedangkan dalil yang
mereka gunakan adalah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut
ini:
Dari Aisyah Radhiyallahu
‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bila kamu
pergi ke tempat buang air maka bawalah tiga batu untuk membersihkan. Dan
cukuplah batu itu untuk membersihkan.(HR. Ahmad Nasai Abu Daud Ad Daaruquthuni)
Hadits
ini bentuknya amr atau perintah dan konsekuensinya adalah
kewajiban.
Dari Abdirrahman bin Yazid
Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa telah dikatakan kepada Salman”Nabimu telah
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu”. Salman berkata”Benar beliau telah
melarang kita untuk menghadap kiblat ketika berak atau kencing. Juga melarang
istinja’ dengan tangan kanan dan istinja dengan batu yang jumlahnya kurang dari
tiba buah. Dan beristinja’ dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy).
2. Sunnah
Pendapat ini didukung oleh Al Hanafiyah dan
sebagian riwayat dari Al Malikiyah. Maksudnya adalah beristinja’ dengan menggunakan air itu hukumnya bukan wajib tetapi
sunnah. Yang penting najis bekas buang air itu sudah bisa dihilangkan meskipun
dengan batu atau dengan ber-istijmar.
Dasar yang digunakan Al Imam Abu
Hanifah dalam masalah kesunnahan istinja’ ini adalah hadits berikut:
Siapa yang beristijmar maka ganjilkanlah
bilangannya. Siapa yang melakukannya maka telah berbuat ihsan. Namun bila tidak
maka tidak ada keberatan. (HR.
Abu Daud).
Selain itu beliau berpendapat bahwa
najis yang ada karena sisa buang air itu termasuk najis yang sedikit. Dan
menurut mazhab beliau najis yang sedikit itu dimaafkan. Di dalam kitab Sirajul Wahhab milik kalangan mazhab Al
Hanafiyah istinja’ itu ada 5 macam 4 diantaranya wajib dan 1
diantaranya sunnah. Yang 4 itu adalah istinja’ dari
haidh nifas janabah dan bila najis keluar dari lubangnya dan melebihi besarnya
lubang keluarnya. Sedangkan yang hukumnya sunnah adalah bila najis keluar dari
lubangnya namun besarnya tidak melebihi besar lubang itu.
Mengomentari hal ini Ibnu Najim
mengatakan bahwa yang empat itu bukan istinja’ melainkan
menghilangkan hadats sedangkan yang istinja’ itu hanyalah yang terakhir saja yaitu najis
yang besarnya sebesar lubang keluarnya najis.
Pada dasarnya Istinja
seharusnya dilakukan oleh seluruh manusia, untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan diri. Apabila tidak dilakukan, tentu akan mengganggu kesehatan.
C.
Adab-adab
Istinja’
Berikut
ini adab buang air besar/kecil yang harus diperhatikan secara saksama.
1. Mencari
tempat yang sunyi dan sepi serta jauh dari penglihatan manusia. Rasulullah SAW
memberikan contoh dalam sunah beliau:
“ Maka beliau pergi hingga tidak
dilihat oleh siapapun.” (H.R.Abu Daud dan Turmizi)
2. Tidak
membawa masuk apa saja yang di dalamnya terdapat zikir kepada Allah.
Sabda
Rasulullah SAW:
“ Bahwa Rasulullah SAW mengenakan cincin yang
ada tulisan “Rasulullah”, namun jika
beliau masuk ke WC, beliau melepasnya.” (H.R. Turmizi)
3. Masuk
ke dalam toilet/WC dengan mendahulukan kaki kiri, sambil berdoa:
.اَللهُمَّ اِنّىْ اَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَآئِثِ
Artinya:
Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan
perempuan (H.R. Bukhari)
4. Keluar
dari WC dengan kaki kanan terlebih dahulu sambil membaca doa.
وَعَافَنِى اْلاَذى عَنِّى اَذْهَبَ الَّذِى ِللهِ اَلْحَمْدُ
Artinya : Segala puji bagi Allah
yang telah menghilangkan penyakit dari tubuhku dan telah menyehatkanku.”
5. Tidak
menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya
6. Tidak
buang air kecil/besar di tempat berteduh, di jalan, di sumber air, atau di
pohon-pohon yang berbuah.
7. Tidak
mengobrol ketika buang air besar.
8. Jika
menggunakan batu hendaknya dengan bilangan ganjil.
9. Tidak
beristinja’ dengan tangan kanan, dan tidak menyentuh kemaluannya dengan tangan
kanan.
10. Tidak
beristinja’ dengan benda bermanfaat, seperti daun, kertas, dan sebagainya, juga
tidak beristinja’ dengan barang-barang yang bernilai seperti barang-barang yang
dapat di makan. Hal itu karena, meniadakan barang yang bermanfaat dan merusak
sesuatu yang berguna itu adalah haram.
Tidak beristinja’
dengan tulang atau kotoran kering.[5]
[1]
Diakses
dari http://www.fimadani.com/pengertian-dan-hukum-istinja-cebok/ Pada
5 Oktober 2016 Pukul 20:32
[2]
Diakses dari http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih//1115/istinja.html Pada 5
Oktober 2016 Pukul 20:22
[4]
Diakses dari http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih//1115/istinja.html Pada 5
Oktober 2016 Pukul 20:22
Komentar
Posting Komentar