Telaah Nilai-Nilai Dalam Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo




ABSTRAK


 Ponorogo dikenal sebagai “Bumi Reog” dengan kesenian reognya; namun juga termasyhur dengan gelaran Grebeg Suro setiap tanggal 1 suro (Muharram) yang meliputi Kirab Pusaka, Festival Reog Nasional, larung risalah doa dan acara-acara lainnya. Sebagai kawasan lama, Ponorogo tentu saja memiliki kearifan lokal (local genius) tersendiri yang berakar dalam nilai-nilai keagamaan dan seni Reog. Penelitian ini ingin memfokuskan dan melihat Grebeg Suro di Ponorogo dari segi sejarah, pelaksanan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi Grebeg Suro Ponorogo mengandung nilai-nilai simbolik religius dan budaya. Nilai-nilai religius berupa ungkapan rasa syukur dengan melakukan tirakatan (banyak berdzikir dan beramal soleh) dan kenduri (selamatan berbagi rezeki), serta menjalin silaturahmi antarwarga. Selain nuansa religi, nuansa budaya juga mewarnai pembukaan Grebeg, yaitu dengan diadakannya Tari Reog massal yang diadakan di Alun-alun Ponorogo, kirab pusaka, pemilihan duta wisata, kakang senduk, acara Larung Risalah dan doa. Setiap perlengkapan prosesi mengandung makna simbolik untuk menyampaikan pesan-pesan kebudayaan melalui media seni. Selain nilai religius dan nilai budaya, masih terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Grebeg Suro.
Sebagai titik tolak, pennelitian ini menggunakan teori nilai Max Scheler yang berargumen bahwa nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian (tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Tolak ukur nilai Max Scheler ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama (Islam) yang berisi nilai-nilai kerohanian mendapatkan tempat tertinggi dibanding dengan nilai-nilai budaya.
Kata Kunci: Ponorogo, Grebeg Suro, Nilai
I.    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur, tepatnya barat daya Jawa Timur berbatasan dengan wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ponorogo adalah sebuah nama yang terkenal karena kesenian Reognya. Kesenian Reog tersebut bagi masyarakat Ponorogo menjadi kebanggaan dan telah melegenda. Salah satu tradisi masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Ponorogo pada khususnya dalam memperingati datangnya tahun baru Islam mengadakan perayaan yang disebut Grebeg Suro.
Grebeg Suro di Ponorogo dapat dilihat adanya Tari Reog Ponorogo yang tidak ditemui dalam acara grebeg-grebeg di daerah lain seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.[1] Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya.
Pada dasarnya Grebeg Suro Ponorogo merupakan suatu acara yang diadakan untuk memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro). Tanggal 1 Syura (Muharram) merupakan tanggal yang istimewa bagi masyarakat Jawa. Pasalnya, malam 1 Syura diperingati sebagai tahun baru Jawa. Dalam grebeg ini juga digelar kirab, pemilihan duta wisata kakang senduk, acara Larung Risalah dan doa, tirakatan, kenduri (selamatan) dan Istighosah. Prosesi tersebut menarik, tidak hanya dalam format fisiknya, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Namun masyarakat umum banyak yang belum memahami tentang nilai-nilai tersebut, karena informasi-informasi yang berkaitan hal tersebut belum banyak yang digali. Untuk itu penelitian ini menarik dan layak dilakukan supaya masyarakat dapat mengetahui dan memahami tentang nilai-nilai Grebeg Suro yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu di Kabupaten Ponorogo.

B.     Rumusan Masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah dan pelaksanaan Grebeg Suro di Ponorogo?
2.      Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Suro di Ponorogo?

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi Grebeg Suro di Ponorogo dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan dengan penelitian ini.
























II.    PEMBAHASAN
A.    Teori dan Prosedur Penggalian Data
Teori nilai atau aksiologi di dalamnya memuat berbagai hal, yaitu sifat dasar nilai, ragam nilai, ukuran nilai, dan kedudukan metafisis nilai. Sifat dasar nilai dikemukakan Max Scheler:”that they are qualities which are independent of goods; goods are valuable things. This independence includes every qualities do not vary with things. They are empirical form, i.e., values are a priori qualities. Values as independent qualities do not vary with things. They are absolute; they are not conditioned by any act, regardless of its nature, be it historical, social, biological or purely individual”.[2]
Titus, Smith, dan Nolan mengemukakan bahwa nilai juga memiliki aliran-aliran, yaitu: subjektivisme dan objektivisme.[3] Aliran subjektivisme mengatakan bahwa nilai menunjukkan perasaan atau emosi dari suka atau tidak suka.Makan, minum, mendengarkan musik semua itu bernilai karena membangkitkan rasa senang dan menimbulkan pengalaman-pengalaman yang disukai.Aliran objektivisme mengatakan bahwa nilai itu objektif.Artinya, nilai-nilai itu terdapat di dunia ini harus digali.
Teori yang dipakai dalam menganalisis dan mencari nilai-nilai dalam tradisi Grebeg Suro di Ponorogo adalah teori nilai dari Max Scheler. Max Scheler mengemukakan bahwa:
Nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian (tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Tolok ukur nilai Max Scheler ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama yang berisi nilai-nilai kerohanian mendapatkan tempat tertinggi dibanding dengan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai kerohanian tersebut meliputi: dakwah, kelestarian, kepercayaan, dan magis. Sedangkan nilai-nilai budaya meliputi: budaya, keindahan, moral, seni, simbol, superioritas, kepahlawanan, keadilan, kesejahteraan, hiburan, kepuasan, kompetisi, materi, dan pertunjukan. Hierarki nilai ini di dalamnya terdapat hierarki dari tingkat yang lebih tinggi menurun hingga ke tingkat yang lebih rendah yang bersifat apriori. Hierarki ini tidak dapat dideduksikan secara empirik, melainkan melalui tindakan preferensi (melalui intuisi-evidensi), dan hierarki ini sifatnya mutlak dan mengatasi segala perubahan historis serta membangun suatu sistem acuan absolut dalam etika, yang merupakan dasar untuk mengukur atau menilai berbagai kepercayaan dan perubahan moral dalam sejarah.
Masalah nilai erat kaitannya dengan fakta kehidupan sehari-hari. Manusia hidup tidak dapat terlepas dari peranan nilai. Max Sheler menyatakan bahwa nilai mempunyai peranan sebagai daya tarik, dasar bagi tindakan, mendorong manusia untuk mewujudkan nilai-nilai yang ditemukan, dan pengarah bagi pembentukan diri manusia melalui berbagai tindakan sesuai tipe-tipe person bernilai. Peran nilai sebagai daya tarik dan pendorong akan memacu dan memberikan motivasi hidup manusia ke arah hidup lebih baik. Maka, Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena permasalahan yang akan diteliti belum jelas, dinamis, kompleks dan memiliki kedalaman makna, sehingga mengharuskan peneliti untuk terjun secara langsung memahami situasi sosial yang terjadi secara mendalam. Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang memandang realitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, kompleks, dinamis dan penuh makna.
Dari pernyataan mengenai kualitatif di atas peneliti berupaya mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo yang sebenarnya di lapangan.
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, dilakukan beberapa cara. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data sebagai berikut.
1.      Observasi (Pengamatan)
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat Bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu pancaindra lainya ( Burhan Bungin,2007:115).
Observasi dilakukan dengan melihat secara langsung Grebeg Suro di Ponorogo. Pada saat observasi, peneliti mengamati dan mencermati prosesi Grebeg Suro yang berlangsung, sehingga Observasi secara langsung yang dilakukan oleh peneliti mulai dari persiapan pementasan hingga pementasan berakhir ini bertujuan agar diperoleh data yang relevan dan objektif.
2.      Wawancara
Wawancara merupakan salah satu cara pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur dan tak terstruktur. Interviu terstruktur merupakan bentuk interviu yang sudah diarahkan oleh sejumlah pertanyaan secara ketat. Dalam semi struktur, meskipun interviu sudah diarahkan oleh sejumlah daftar pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan per-tanyaan baru yang idenya muncul secara spontan sesuai dengan konteks pem-bicaraan yang dilakukannya. Dalam interviu secara tak berstruktur, peneliti hanya berfokus pada pusat-pusat permasalahan. Adapun narasumber yang telah diwawancara adalah Pryo Ihsan Aji (21 tahun, Penari Warok), Arizal Yusuf (20 tahun, penari), Suyitno (48 Tahun, Pengrawit)
Pada proses pencarian data melalui wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan narasumber utama tersebut sebanyak satu kali, namun disaat peneliti merasa ada yang perlu ditanyakan yang dilakukan adalah melakukan wawancara kembali. Selain narasumber utama, ada juga narasumber pendukung yang telah diwawancara, antara lain Alfa Lasta (20 tahun, penari Jathil), Nora Rukmawati (22 tahun,warga Desa Patihan Wetan, Babadan, Ponorogo). Masing-masing narasumber tersebut diwawancarai sebanyak satu kali. Pada saat melakukan wawancara, peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar wawancara yang dilakukan lebih terarah dan memperoleh data yang diperlukan untuk keperluan penelitian. Proses wawancara dilakukan dengan perekaman, agar hasil wawancara dapat tersimpan dengan baik. Selain itu, hasil wawancara tersebut didengar kembali agar data-data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian benar-benar lengkap, dan jika masih ada kekurangannya dilakukan wawancara kembali.
3.      Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metodologi dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis (Burhan Bungin, 2007:121). Metode dokumentasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pengumpulan data dari segala benda tertulis baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Dalam kinerjanya penulis meng-gunakan cara-cara kerja sejarawan yaitu heuristik, usaha menemukan jejak-jejak sejarah. Setelah berhasil menemukan jejak-jejak yang akan menjadi cerita sejarahnya maka langkah berikutnya adalah menilai, menguji atau menyeleksi jejak-jejak tersebut sebagai usaha mendapatkan jejak atau sumber yang benar. Dokumen-dokumen yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah foto-foto dan peralatan yang digunakan dalam acara Grebeg Suro.

B.     Objek Kajian dan Penentuan Data Menjadi Fakta
1.      Objek Kajian
Objek dalam penelitian ini adalah Nilai-Nilai dalam Tradisi Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan di Desa Kauman, Kecamatan Kauman,
Kabupaten Ponorogo. Desa Kauman merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Ponorogo yang masih mempertahankan kesenian Reog sebagai kebanggaan desa. Wilayah tersebut dipilih sebagai setting penelitian dikarenakan Desa Kauman, Kecamatan Kauman merupakan salah satu desa yang terkenal dengan Reognya. Hal tersebut disebabkan adanya tugu BantarAngin yang merupakan petilasan kerajaan Bantar Angin sebagai sumber cerita dalam kesenian Reog.
2.      Penentuan Data Menjadi Fakta
Penentuan data menjadi fakta dalam penelitian ini adalah kumpulan informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber, baik sumber yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan para nara sumber yang mengetahui tentang Grebeg Suro, rekaman video, foto-foto, maupun data-data yang berupa dokumen yang dimiliki oleh instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian. Selain data-data tersebut didukung juga oleh data-data yang berupa catatan-catatan,dan buku-buku yang diperoleh selama dilakukannya observasi.



C.    Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, sehingga data-data tersebut digambarkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat. Data-data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif. Peneliti memaparkan dan berusaha mengembangkan rancangan yang telah diperoleh dari hasil observasi dan wawancara sesuai dengan topik permasalahan. Tahap-tahap yang ditempuh peneliti adalah sebagai berikut.
1.      Reduksi data
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data  “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proses penelitian kualitatif berlangsung (Miles dan Huberman, 1992: 16).
Pada tahap reduksi ini, peneliti mencatat dan merangkum uraian panjang kemudian memisah-misahkan dan mengklasifikasikan data mengenai tradisi Grebeg Suro di Ponorogo menjadi beberapa kelompok sehingga lebih mudah dalam menganalisis.
2.      Sajian Data
Display atau penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam langkah ini, peneliti menampilkan data-data yang sudah diklasifikasikan sehingga mendapatkan gambaran secara keseluruhan mengenai Nilai-Nilai Islam dalam tradisi Grebeg Suro .
3.      Pengambilan Kesimpulan
Setelah hasil reduksi dan display data diperoleh, maka langkah terakhir yang peneliti lakukan adalah mengambil kesimpulan sesuai dengan objek penelitian. Data yang disajikan dalam bentuk teks deskriptif tentang Grebeg Suro diambil kesimpulan atau garis besar sesuai dengan objek penelitian. Dalam langkah-langkah tersebut, peneliti menganalisis data menjadi suatu catatan yang sistematis dan bermakna, sehingga pendeskripsian menjadi lengkap.

D.    Analisis Pembahasan
1.      Sejarah dan Pelaksanaan Grebeg Suro di Ponorogo
a.      Sejarah Awal Grebeg Suro
Grebeg Suro menjadi agenda penting di Ponorogo. Sejarah diadakannya tradisi[4] Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat terutama kalangan warok[5] pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.[6] Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog[7] didalamnya.
Grebeg Suro Menurut kamus Jawa Kuno Indonesia yang dimaksud dengan Grebeg adalah derap banyak kaki yang bergemuruh. Sedangkan menurut sejarahnya, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Hal ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Sedang grebeg di Ponorogo mempunyai makna yaitu untuk mendekatkan diri dan memanjatkan doa kepada Yang Kuasa agar senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan serta merupakan acara tahunan dan kegiatan rutin bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan serta merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa).
Suro berarti nama bulan pertama dalam tahun Jawa. Menurut sejarahnya, tahun atau tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Pada waktu itu yang digunakan adalah tarikh Saka dan Masehi, yang berdasarkan perhitungan putaran matahari, serta tarikh Hijriah yang berdasarkan perhitungan putaran bulan. Kemudian Sultan Agung membuat tarikh Jawa (Islam) yang berdasarkan putaran bulan, melanjutkan umurnya tarikh Saka, 1555. Tahun Jawa mulai diberlakukan sejak 1 Sura, Alip 1555 (1 Asvina 1555 Saka= 1 Januari 1633 Masehi = 1 Muharam 512 Hijriah )Tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung dilengkapi unsus-unsur seperti; 7 hari ( Ahad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jumuah dan Setu ), 5 pasaran ( Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon ), 12 bulan ( Sura, Sapar, Mulud, dst.), 8 tahun ( Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir ), 4 windu ( Adi, Kunthara, Sangsara dan Sancaya ), 30 wuku ( Sinta, Landep, Wukir, dst.), 12 mangsa (Kasa, Karo, Katelu, dan seterus-nya), serta 5 Kurup (Jamngiyah, Kamsiyah, Arbangiyah/Aboge, Salasiyah/ Asapon dan Isneniyah ). Kelengkapan dari unsur-unsur itu kemudian digunakan sebagai Pawukon, sebagai dasar perhitungan perbintangan Jawa.
Pada dasarnya Grebeg Suro Ponorogo merupakan suatu acara yang diadakan untuk memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro) dan kegiatan rutin yang bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reog yang menjadi seni asli Ponorogo .[8] Malam 1 Syura (Muharram) disambut dengan berbagai ritual sebagai bentuk intropeksi diri, inilah keistimewaan malam 1 Syura.[9]

b.      Pelaksanaan Grebeg Suro di Ponorogo
Bentuk perubahan budaya ketika jaman dahulu Grebeg Suro, setiap menghadapi bulan Sura yang dilakukan masyarakat Ponorogo yaitu mapag tanggal, dan mengadakan tirakatan dengan berjalan bersama mengitari ringin kurung sebanyak tujuh puluh kali putaran ditengah Alun-alun Kabupaten Ponorogo. Hiburan untuk masyarakat ketika jaman dahulu ada pertunjukan ketoprak, ludruk dan wayang.[10]
Perubahan budaya dizaman sekarang  melaksanakan prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Kemudian disusul pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang dihiasi. Berikutnya akan ada Festival Reog Nasional di alun-alun kota. Berbagai acara-acara dihelat di Kota Reog seperti, Istighozah, Lomba Kakang Senduk, pameran-pameran karya masyarakat Ponorogo, pameran bonsai, Festival Reog Nasional XVIII, dan masih banyak lagi.
Pelaksanaannya dimulai dengan Festival Reog Nasional yang dilaksanakan selama 4 hari. Sehari sebelum 1 Suro diadakan Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka yaitu pusaka yang merupakan duplikat dari pusaka Kerajaan Majapahit yaitu Payung Songsong Tunggul Naga, Tombak Pusaka Kyai Wuluh Sanggar dan Cinde Puspito yang dikirab dari makam Batoro Katong sampai ke pendopo Pemerintah Kabupaten (dari kota lama ke kota baru). Malam 1 Suro diadakan penutupan Festival Reog Nasional dan pengumuman lomba, dan tepat tanggal 1 Suro diadakan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel yang selalu diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi tumpeng atau yang lainnya ini menurut banyak kalangan "hanya sebuah ritual" atau "upaya melestarikan budaya leluhur".
Selain nuansa budaya, Grebeg Suro juga mengadakan simaan Al-Quran dan istigosah yang diikuti ribuan tokoh dan masyarakat. Untuk menyongsong malam tahun baru Suro, pada umumnya diadakan tradisi membersihkan pusaka leluhur dan rasa syukur dengan melakukan tirakatan (banyak berdzikir dan beramal soleh), kenduri (selamatan membagi-bagi rezeki), membuat bubur suro yang kemudian diantar ke-tetangga, handai taulan dan kerabat. Maksud dan tujuan utama melakukan tradisi tersebut adalah menjalin silaturahmi, mengembangkan Ukhuwah Islamiah, Bashoriyah, Wathoniah (keislaman, sesama muslim, persaudaraan sesama masyarakat Ponorogo, dan kebangsaan sesama bangsa Indonesia) (Disbudparpora Ponorogo, 2008).
Umumnya para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta untuk menghormati pendiri Kabupaten Ponorogo, Raden Batoro Katong yang merupakan utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo, serta beliau adalah saudara kandung tapi lain ibu dari Raden Patah, Sultan Demak kala itu.
Setelah Raden Katong, sebagai utusan Raden Patah (raja Demak), selanjutnya dapat menaklukkan Ki Demang Kutu (beragama Hindu) yang dahulu memberontak kepada raja Brawijaya. Kemenangan Raden Katong terhadap Ki Demang Kutu dilanjutkan dengan mendirikan kota kadipaten dan menjadi bupati pertama dengan bergelar Bathara Katong tahun 1486 yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo dijadikan tahun berdirinya kota Ponorogo. Kesenian Reog dipertahankan keberadaannya oleh Raden Katong. Bahkan, kesenian Reog dijadikan media dakwah yang tujuannya untuk mengislamkan masyarakat Ponorogo.
Di bawah kekuasaan Bathara Katong ini kesenian Reog mendapatkan beberapa tambahan dalam perangkat atau peralatannya. Tambahan tersebut dimaksudkan agar unsur Islam terlihat dalam kesenian itu. Beberapa tambahan menunjukkan bahwa kesenian Reog telah di-Islamkan. Setelah Bathara Katong berkuasa maka dominasi unsur-unsur Islam berikut ditonjolkan Dalam peralatan-peralatan yang merupakan simbol untuk menyampaikan pesan dan mengandung makna. Demikian pula pula peralatan yang digunakan dalam Grebek Suro khususnya dalam kesenian Reyog Ponorogo. Simbol-simbol dalam kesenian Reyog Ponorogo mengandung makna sebagai berikut:[11]
1)      Gemblakan, yang dahulu diperankan oleh laki-laki ganteng dan didandani seperti layaknya perempuan sebagai ‘klangenan’ warok, sekarang gemblakan diganti dengan penari jathil (penari kuda kepang) yang pemainnya perempuan. Penari jathil ini diibaratkan prajurit yang sedang berlatih perang.
2)      Tasbih atau merjan. Di atas dhadhak merak (barongan) terdapat burung merak yang sedang mematuk merjan atau tasbih. Hal ini mengandung makna bahwa tasbih sebagai benda yang sering digunakan untuk berzikir.
3)       Gamelan Reog laras slendro memiliki bilangan: 1, 2, 3, 4, 5, 6 jumlahnya 17. Angka 17 melambangkan bahwa shalat wajib rakaatnya berjumlah 17.[12]
4)      Reog atau reyog berasal dari bahasa Arab : riyoqun, yang artinya khusnul khatimah. Kata ini melambangkan bahwa seluruh perjalanan hidup manusia walaupun banyak dosa, maka apabila telah sadar dan bertobat akhirnya akan menemukan khusnul khatimah. Arti lainnya, kata Reog merupakan harapan Bathara Katong setelah masyarakat Ponorogo yang Hindhu beralih ke Islam nantinya akan menjadi manusia khusnul khatimah.
5)      Kendhang, merupakan peralatan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qoda’a yang artinya rem. Terkait dengan rem, dalam Islam terdapat konsep nafsu yang apabila seseorang dapat mengendalikan gejolak nafsu (amarah, lauwamah, dan supiah), maka orang akan dapat mencapai khusnul khatimah.
6)      Ketipung, merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab katifun yang artinya balasan. Setiap tindakan manusia apakah itu tindakan baik maupun tindakan buruk semuanya akan menerima balasan. Tindakan baik akan mendapatkan pahala, dan tindakan buruk akan mendapatkan laknat Tuhan.
7)      Kenong merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qona’a yang artinya menerima takdir. Maksudnya, manusia dalam upayanya untuk mencari keberhasilan hidup, agar tidak mendapatkan kecewa apabila tidak berhasil, maka hasil akhir dari upayanya itu harus dikatakan sebuah takdir.
8)      Kethuk merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab khothok yang artinya banyak salah.
9)      Terompet merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab shuwarun yang artinya peringatan. Istilah terompet ini mengingatkan manusia bahwa besuk setelah kiamat terjadi manusia dibangunkan dengan suara terompet malaikat yang kemudian manusia akan mendapatkan pengadilan.
10)  Angklung, merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab anqul yang artinya peralihan. Maksud dari istilah anqul bahwa manusia dalam hidupnya diharapkan untuk hijrah dari hal yang buruk ke hal yang baik. Agar manusia hidupnya selamat di dunia dan di akherat, maka harus hijrah dari keadaan buruk ke keadaan baik.
11)  Udheng, merupakan tutup kepala pemain kesenian Reog berasal dari bahasa Arab ud’u yang artinya mengajak atau menganjurkan. Maksud kata di atas bahwa manusia diharapkan untuk mengajak dan menganjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja tentang kebajikan dunia maupun kebajikan akherat.
12)  Penadhon merupakan pakaian para pemain kesenian reog. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya fanadun yang artinya lemah. Perlu disadari bahwa manusia memiliki kelemahan dan kekhilafan. Untuk itu, manusia diharapkan agar sesering mungkin mohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
13)  Usus-usus/ koloran merupakan asesoris pakaian pemain kesenian Reog (warok). Kata tersebut berasal dari bahasa Arab ushusun yang artinya tali/ ikatan. Maksud dari kata tersebut bahwa manusia dalam hidupnya diharapkan dapat selalu menjalin tali silaturrahmi kepada sesama (hablum minannas) dan menjali ikatan kepada Tuhan (hablum minallah).
Tari dan pelaku merupakan unsur yang dominan selain gamelan dalam setiap pementasan Reog Ponorogo, namun hal itu masih perlu ditunjang unsur lain yang sangat yaitu unsur busana dan rias. Masing-masing pelaku / peran dalam pementasan Reog Ponorogo mempunyai ciri-ciri dan macam busana yang berbeda satu dengan yang lain, sesuai dengan karakteristik dan arti sendiri-sendiri. Pada umumnya busana pelaku Reog Ponorogo terdiri dari warna hitam,merah, putih dan kuning. Hal ini mengandung arti dan karakteristik sendiri-sendiri misalnya warna hitam melambangkan sifat ber-wibawa, tenang dan berisi. Serta merupakan lambang pengendalian nafsu aluamah, warna merah berarti berani sesuai dengan karakter tari yang seroik serta merupakan lambang pengendalian nafsu amarah, warna putih berarti keberanian yang dilandasi dengan tujuan yang suci. Serta merupakan lambang pengendalian nafsu mutmainah, warna kuning berarti mempunyai cita-cita untuk memperoleh kebahagiaan dan kejayaan. Serta merupakan lambang pengendalian nafsu.

2.      Nilai-Nilai Dalam Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo
Nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian (tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Teori nilai Max Scheler ini apabila dipakai untuk membedah nilai-nilai dalam Grebeg Suro Ponorogo, maka akan ditemukan beberapa nilai. Nilai-nilai yang terungkap dalam Grebeg Suro  di antaranya sebagai berikut[13]:
a.       Nilai Kerohanian
1)      Nilai dakwah.
Kaitannya dengan kesenian reog, sejak zaman Bathara Katong hingga sekarang kesenian Reog sangat efektif untuk mengumpulkan massa. Banyak masjid apabila akan mengadakan peringatan hari besar Islam sebelumnya dipertunjukkan kesenian reog. Hal ini untuk membuktikan selain membuat keramaian juga menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam tidak alergi terhadap seni-budaya reog. Terdapat faktor eksternal (‘awamil al-kharijiyyah) dari ajaran Islam yang disiarkan Walisanga banyak unsur Islam yang memiliki kesamaan dan kesesuai dengan unsur-unsur asli. kalung merjan (tasbih) ditambahkan pada paruh burung merak yang melambangkan ajaran Islam[14]
2)      Nilai Kelestarian,
Nilai ini terungkap sejak upaya Bathara Katong menaklukkan Ki Ageng Kutu dengan pendekatan kultural. Upaya kelestarian itu hingga sekarang masih dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo sebagai upaya kesinambungan. Mengadakan ritual budaya, seperti: ziarah ke makam Bathara Katong, Grebeg Suro, festival reog nasional, dan pentas bulan purnama.
3)      Nilai Kepercayaan
Kaitannya dengan membuat bubur Suro maknanya adalah supaya dalam satu satu tahun kedepan diberi keselamatan.Kenduri atau selamatan maknanya adalah sebagai rasa sukur atas rezeki dari Tuhan serta menjalin silaturahmi antarwarga. Kemudian, Tirakatan tidak tidur pada malam satu suro maknanya adalah intropeksi diri atas kesalahan yang telah dilakukan supaya tidak terulang lagi di tahun depan dengan banyak berdzikir dan beramal saleh.
4)      Nilai Magis
Nilai magis menunjuk pada keberadaan ilmu magis yang digunakan dalam permainan reog. Fauzannafi mengemukakan keberadaan unsur magis/ mistis dalam Reog hingga tahun 1990-an masih dilakukan dalam kesenian Reog obyogan di desa-desa bahkan beberapa ada yang masih menggunakan ritual-ritual tertentu terutama untuk menyambut Grebeg Suro. Semua kesenian tradisional tidak lepas dari unsur magisnya.

b.      Nilai-Nilai Spiritual
1)   Nilai Budaya
Nilai budaya adalah asumsi tentang keadaan yang diinginkan atau sebaliknya, anggapan tentang apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog dalam Grebeg Suro memuat nilai-nilai kejawaan yang adiluhung, sebagai tontonan dan tuntunan.Kesenian reog sebagai seni-budaya tradisional khas Ponorogo, sehingga kesenian reog menjadi representasi sekaligus sumber nilai bagi masyarakat Ponorogo
2)   Nilai Keindahan
Kartinib. mengemukakan pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam kesenian Reog terungkap pada : gerak tari, tata busana, tata rias, dan aransemen gamelan.[15]
3)      Nilai seni
Nilai seni menunjuk pada istilah seni yang merupakan proses menciptakan sesuatu yang indah, berguna atau mengherankan oleh budi dengan bantuan dari kemampuan raga manusia. Kesenian Reog yang juga menjadi bagian dari tradisi Grebeg Suro menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo, karena dianggap memiliki keindahan dan berguna untuk hiburan.
4)   Nilai simbolik
Di dalamnya sarat dengan simbol-simbol. Seperti dalam Peralatan Gamelan Reog dan pusaka-pusaka kebanggan Ponorogo.Simbol-simbol ini sebenarnya merupakan ungkapan nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam membangun karakter manusia.


c.       Nilai-Nilai Kehidupan
1)      Nilai kepahlawanan. Kaitannya dengan kesenian reog, nilai a. kepahlawanan ini terungkap pada pemain Reog. Para pemain Reog seperti warok, klana, jathil semuanya berperan sebagai sosok pahlawan.
2)      Nilai keadilan. Kaitannya dengan kesenian Reog, nilai-nilai b. keadilan terungkap bahwa kesenian merupakan ungkapan rasa kekeluargaan dan kegotongroyongan. Dari dalam kekeluargaan dan kegotongroyongan itu memuat hak dan kewajiban. Siapa pun orangnya apabila menginginkan keadilan lakukanlan dan penuhilah hak dan kewajibannya.
3)      Nilai kesejahteraan. Kaitannya dengan kesenian reog, nilai kesejahteraan ini mengandung makna kesejahteraan lahir dan batin. Kesejahteraan lahir dan batin inilah yang akan menjadi tujuan pertunjukan reog. Kesejahteraan lahir didapat dari hasil tanggapan, sedangkan kesejahteraan didapat dari kepuasan setelah mengadakan pertunjukan.

d.      Nilai-nilai Kesenangan
1)      Nilai hiburan. Terletak pada para pemain Reog dan penontonnya. Biasanya menjadi pemain Reog hanya hobi atau menghibur diri di saat mempunyai waktu senggang. Penonton juga merasa terhibur apabila terdapat pertunjukan reog.
2)      Nilai kepuasan. Kaitannya dengan kesenian reog, nilai b. kepuasan ini terungkap pada para pemain setelah mengadakan pentas, penanggap merasa puas setelah memberikan hiburan gratis pada masyarakat. Sehingga, baik pemain, penonton, dan pihak-pihak yang terlibat merasakan puas.
3)      Nilai kompetitif. Kaitannya dengan kesenian reog, nilai kompetitif terletak pada setiap group Reog harus selalu memperbaiki pertunjukannya agar dalam acara kompetisi mendapatkan juara. Misal, dalam festival Reog nasional.
4)      Nilai material. Kaitannya dengan kesenian reog, nilai material terungkap dalam rasa senang. Sejauh mana kesenian Reog sebagai sumber rasa senang. Beberapa pihak yang mendapatkan rasa senang, seperti : pemain, penonton, pengrajin, Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan, seniman, masyarakat umum, dan sebagainya.
5)      Nilai pertunjukan ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki dua jenis pertunjukan, yaitu pertunjukan di panggung (reog pentas) pentas dan pertunjukan bukan di panggung (reog objogan).[16]
Mengacu pada teori nilai Max Scheler ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama (Islam) yang berisi nilai-nilai kerohanian mendapatkan tempat tertinggi dibanding dengan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai kerohanian tersebut meliputi: dakwah, kelestarian, kepercayaan, dan magis. Sedangkan nilai-nilai budaya meliputi: budaya, keindahan, moral, seni, simbol, superioritas, kepahlawanan, keadilan, kesejahteraan, hiburan, kepuasan, kompetisi, materi, dan pertunjukan. Hierarki nilai ini di dalamnya terdapat hierarki dari tingkat yang lebih tinggi menurun hingga ke tingkat yang lebih rendah yang bersifat apriori.

E.     Simpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara menyeluruh nilai-nilai dalam tradisi Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo dengan tolak ukur teori nilai Max Max Scheler yang. berargumen bahwa nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian (tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Sebagian besar masyarakat hanya mengetahui prosesi dari Grebeg Suro tanpa tahu arti maupun nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya.
Keunikan sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa merupakan tradisi religius yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan perwujudan dari kepercayaan yang kuat terhadap adat istiadat serta tanggapan masyarakat terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib untuk mengetahui makna yang terkandung dalam upacara. Adat mempunyai makna religi bagi para pendukungnya, di mana masyarakat akan mendapatkan rasa aman dan ketenangan batin apabila telah melaksanakannya dengan memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Menurut Herusasoto (2008:8) salah satu tradisi atau adat tata kelakuan adalah tingkat nilai budaya yang berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dan alam jiwa manusia. Grebeg Suro sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jawa kususnya masyarakat Ponorogo karena merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa) dan kegiatan rutin yang bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reog yang menjadi kesenian asli Ponorogo. Dengan digelar festival tahunan diharapkan seluruh anak bangsa dan manca negara memahami bahwa Reog merupakan kesenian asli Ponorogo. Selain itu juga untuk memperingati serta menyukuri kedatangan tahun baru Islam.

F.     Penutup
Grebeg Suro merupakan tradisi yang ada di Kabupaten Ponorogo. Grebeg Suro memiliki nilai-nilai yang penting untuk diketahui di dalamnya, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1.      Penelitian lanjutan perlu dilakukan. Para peneliti dan mahasiswa hendaknya mau meneliti tentang kebudayaan-kebudayaan di Indonesia khususnya di daerah sekitar tempat tinggal. Nilai-nilai dalam tradisi Grebeg Suro masih perlu dikaji kembali.
2.      Untuk masyarakat, harus lebih mengenal makna dari Grebeg Suro dan kesenian Reog yang menjadi keunikan dari pelaksaan Grebeg Suro di Ponorogo daripada daerah lainnya serta tetap menjaga, melestarikan,dan menyemarakkan Grebeg Suro setiap tahunnya.













DAFTAR PUSTAKA


Achmadi, Asmoro. 2014. “Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa” dalam Jurnal Teologia Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014
Aizid, Riziem. 2015. Islam Abangan dan Kehidupannya. Yogyakarta: Dipta
Achmadi, Asmoro. 2013. “Pasang Surut Dominasi Islam terhadap Kesenian Reog Ponorogo” , dalam jurnal  Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni
Daksono & Kardi. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo. Ponorogo: Pemda Tingkat II Ponorogo
Frondizi, Risieri. 1963. What is Value?: An Introduction to Axiology, LaSalle, Ill. : Open Court Pub Co, 1963
H. Titus, Harold,dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang
Kartini. 2008. Horizon Estetika. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Filsafat UGM,
Paramita Herma, Wahyu. 2014. “Tradhisi Grebeg Sura Ing Kabupaten Ponorogo (Tintingan Owah Gingsir Kabudayan)”  dalam Jurnal Baradha Vol 2, No 3 : Yudisium III Wisuda Ke 81
Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa. Bandung: Mizan Press
Zulianti Hanif, Muhammad. 2012. Simbolisme Grebeg Suro Di Kabupaten Ponorogo” dalam Jurnal Agastya Vol . 0 2
kkbi.web.id Diakses pada 20 Mei 2018 Pukul 21.40 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Suro Diakses pada 20 Mei 2018 Pukul 21.40 WIB




[2] Risieri Frondizi, What is Value?: An Introduction to Axiology, LaSalle, Ill. : Open Court Pub Co, 1963, hlm. 82-83. 
[3] Harold H. Titus, Marylin S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 123-124.  
[4]Tradisi merupakan kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendiknas/ Pusat Bahasa, dalam kkbi.web.id
[5] Warok berarti pendekar atau jagoan berkelahi yang disegani di daerah Ponorogo dan sekitarnya, biasanya menjadi pimpinan perkumpulan reog, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendiknas/ Pusat Bahasa, dalam kkbi.web.id
[6]https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Suro Diakses pada 6 April 2018 Pukul 15.40 WIB
[7] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, reog merupakan tarian tradisional dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping
[8] Muhammad Hanif Zulianti, Simbolisme Grebeg Suro Di Kabupaten Ponorogo” dalam Jurnal Agastya Vol . 0 2, 2012 hlm. 39
 [9] Riziem Aizid, Islam Abangan dan Kehidupannya, (Yogyakarta: Dipta, 2015) hlm. 155
[10] Wahyu Paramita Herma, “Tradhisi Grebeg Sura Ing Kabupaten Ponorogo (Tintingan Owah Gingsir Kabudayan)”  dalam Jurnal Baradha Vol 2, No 3 (2014): Yudisium III Wisuda Ke 81 hlm. 3

[11] Asmoro Achmadi, Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa dalam Jurnal Teologia, Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014 hlm. 12
[12]Daksono & Kardi, Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo, (Ponorogo: Pemda Tingkat II Ponorogo, 1996) hlm. 6.
[13] Asmoro Achmadi,  “Pasang Surut Dominasi Islam terhadap Kesenian Reog Ponorogo” , dalam jurnal  Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013 hlm. 123
[14] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, (Bandung: Mizan Press, 1995) hlm. 221
[15] Kartini, Horizon Estetika (Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Filsafat UGM, 2008), hlm. 8.
[16] Asmoro Achmadi, Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa dalam Jurnal Teologia, Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014 hlm. 18-19

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Nasikh dan Mansukh

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Bali 2018