Telaah Nilai-Nilai Dalam Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo
ABSTRAK
Ponorogo dikenal
sebagai “Bumi Reog” dengan kesenian reognya; namun juga termasyhur
dengan gelaran Grebeg Suro setiap tanggal 1 suro (Muharram) yang meliputi Kirab
Pusaka, Festival Reog Nasional, larung risalah doa dan acara-acara lainnya.
Sebagai kawasan lama, Ponorogo tentu saja memiliki kearifan lokal (local
genius) tersendiri yang berakar dalam nilai-nilai keagamaan dan seni Reog.
Penelitian ini ingin memfokuskan dan melihat Grebeg Suro di Ponorogo dari segi
sejarah, pelaksanan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi
Grebeg Suro Ponorogo mengandung nilai-nilai simbolik religius dan budaya.
Nilai-nilai religius berupa ungkapan rasa syukur dengan melakukan tirakatan
(banyak berdzikir dan beramal soleh) dan kenduri (selamatan berbagi rezeki),
serta menjalin silaturahmi antarwarga. Selain nuansa religi, nuansa budaya juga
mewarnai pembukaan Grebeg, yaitu dengan diadakannya Tari Reog massal yang
diadakan di Alun-alun Ponorogo, kirab pusaka, pemilihan duta wisata, kakang
senduk, acara Larung Risalah dan doa. Setiap perlengkapan prosesi mengandung
makna simbolik untuk menyampaikan pesan-pesan kebudayaan melalui media seni.
Selain nilai religius dan nilai budaya, masih terdapat nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi Grebeg Suro.
Sebagai titik tolak, pennelitian ini menggunakan teori nilai Max
Scheler yang berargumen bahwa nilai memiliki hierarki sebagai berikut:
nilai-nilai kerohanian (tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual,
nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Tolak
ukur nilai Max Scheler ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama (Islam) yang
berisi nilai-nilai kerohanian mendapatkan tempat tertinggi dibanding dengan
nilai-nilai budaya.
Kata Kunci: Ponorogo, Grebeg Suro, Nilai
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ponorogo merupakan salah satu kabupaten
di Propinsi Jawa Timur, tepatnya barat daya Jawa Timur berbatasan dengan
wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ponorogo adalah sebuah nama yang terkenal
karena kesenian Reognya. Kesenian Reog tersebut bagi masyarakat Ponorogo
menjadi kebanggaan dan telah melegenda. Salah satu tradisi
masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Ponorogo pada khususnya dalam
memperingati datangnya tahun baru Islam mengadakan perayaan yang disebut Grebeg
Suro.
Grebeg Suro di Ponorogo dapat dilihat adanya Tari
Reog Ponorogo yang tidak ditemui dalam acara grebeg-grebeg di daerah lain
seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro
Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi
kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.[1]
Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai
luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya.
Pada dasarnya Grebeg Suro Ponorogo merupakan suatu
acara yang diadakan untuk memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam
istilah Jawa disebut Suro). Tanggal 1 Syura (Muharram) merupakan tanggal yang
istimewa bagi masyarakat Jawa. Pasalnya, malam 1 Syura diperingati sebagai tahun
baru Jawa. Dalam grebeg ini juga digelar kirab, pemilihan duta wisata kakang
senduk, acara Larung Risalah dan doa, tirakatan, kenduri (selamatan) dan
Istighosah. Prosesi tersebut menarik, tidak hanya dalam format fisiknya, tetapi
juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Namun masyarakat umum banyak yang belum memahami
tentang nilai-nilai tersebut, karena informasi-informasi yang berkaitan hal
tersebut belum banyak yang digali. Untuk itu penelitian ini menarik dan layak
dilakukan supaya masyarakat dapat mengetahui dan memahami tentang nilai-nilai
Grebeg Suro yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu di Kabupaten Ponorogo.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana
sejarah dan pelaksanaan Grebeg Suro di Ponorogo?
2. Bagaimana
nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Suro di Ponorogo?
C.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi
Grebeg Suro di Ponorogo dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan
dengan penelitian ini.
II.
PEMBAHASAN
A.
Teori
dan Prosedur Penggalian Data
Teori nilai atau aksiologi di dalamnya memuat
berbagai hal, yaitu sifat dasar nilai, ragam nilai, ukuran nilai, dan kedudukan
metafisis nilai. Sifat dasar nilai dikemukakan Max Scheler:”that they are
qualities which are independent of goods; goods are valuable things. This
independence includes every qualities do not vary with things. They are
empirical form, i.e., values are a priori qualities. Values as independent
qualities do not vary with things. They are absolute; they are not conditioned
by any act, regardless of its nature, be it historical, social, biological or
purely individual”.[2]
Titus, Smith, dan Nolan mengemukakan bahwa nilai
juga memiliki aliran-aliran, yaitu: subjektivisme dan objektivisme.[3]
Aliran subjektivisme mengatakan bahwa nilai menunjukkan perasaan atau emosi
dari suka atau tidak suka.Makan, minum, mendengarkan musik semua itu bernilai
karena membangkitkan rasa senang dan menimbulkan pengalaman-pengalaman yang
disukai.Aliran objektivisme mengatakan bahwa nilai itu objektif.Artinya,
nilai-nilai itu terdapat di dunia ini harus digali.
Teori yang dipakai dalam menganalisis
dan mencari nilai-nilai dalam tradisi Grebeg Suro di Ponorogo adalah teori
nilai dari Max Scheler. Max Scheler mengemukakan bahwa:
Nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian
(tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan
nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Tolok ukur nilai Max Scheler ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai agama yang berisi nilai-nilai kerohanian
mendapatkan tempat tertinggi dibanding dengan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai
kerohanian tersebut meliputi: dakwah, kelestarian, kepercayaan, dan magis.
Sedangkan nilai-nilai budaya meliputi: budaya, keindahan, moral, seni, simbol,
superioritas, kepahlawanan, keadilan, kesejahteraan, hiburan, kepuasan,
kompetisi, materi, dan pertunjukan. Hierarki nilai ini di
dalamnya terdapat hierarki dari tingkat yang lebih tinggi menurun hingga ke
tingkat yang lebih rendah yang bersifat apriori. Hierarki ini tidak dapat
dideduksikan secara empirik, melainkan melalui tindakan preferensi (melalui
intuisi-evidensi), dan hierarki ini sifatnya mutlak dan mengatasi segala
perubahan historis serta membangun suatu sistem acuan absolut dalam etika, yang
merupakan dasar untuk mengukur atau menilai berbagai kepercayaan dan perubahan
moral dalam sejarah.
Masalah
nilai erat kaitannya dengan fakta kehidupan sehari-hari. Manusia hidup tidak
dapat terlepas dari peranan nilai. Max Sheler menyatakan bahwa nilai mempunyai
peranan sebagai daya tarik, dasar bagi tindakan, mendorong manusia untuk
mewujudkan nilai-nilai yang ditemukan, dan pengarah bagi pembentukan diri
manusia melalui berbagai tindakan sesuai tipe-tipe person bernilai. Peran nilai
sebagai daya tarik dan pendorong akan memacu dan memberikan motivasi hidup
manusia ke arah hidup lebih baik. Maka, Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena permasalahan yang akan
diteliti belum jelas, dinamis, kompleks dan memiliki kedalaman makna, sehingga
mengharuskan peneliti untuk terjun secara langsung memahami situasi sosial yang
terjadi secara mendalam. Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah metode
penelitian yang memandang realitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh,
kompleks, dinamis dan penuh makna.
Dari pernyataan mengenai kualitatif di atas peneliti berupaya
mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Tradisi Grebeg Suro di
Ponorogo yang sebenarnya di lapangan.
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
dilakukan beberapa cara. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data
sebagai berikut.
1. Observasi
(Pengamatan)
Observasi atau pengamatan adalah
kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat
Bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan
kulit. Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu pancaindra
lainya ( Burhan Bungin,2007:115).
Observasi
dilakukan dengan melihat secara langsung Grebeg Suro di Ponorogo. Pada saat
observasi, peneliti mengamati dan mencermati prosesi Grebeg Suro yang
berlangsung, sehingga Observasi secara langsung yang dilakukan oleh peneliti
mulai dari persiapan pementasan hingga pementasan berakhir ini bertujuan agar
diperoleh data yang relevan dan objektif.
2.
Wawancara
Wawancara
merupakan salah satu cara pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan
komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur dan tak terstruktur. Interviu
terstruktur merupakan bentuk interviu yang sudah diarahkan oleh sejumlah
pertanyaan secara ketat. Dalam semi struktur, meskipun interviu sudah diarahkan
oleh sejumlah daftar pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan
per-tanyaan baru yang idenya muncul secara spontan sesuai dengan konteks
pem-bicaraan yang dilakukannya. Dalam interviu secara tak berstruktur, peneliti
hanya berfokus pada pusat-pusat permasalahan. Adapun
narasumber yang telah diwawancara adalah Pryo Ihsan Aji (21 tahun, Penari Warok),
Arizal Yusuf (20 tahun, penari), Suyitno (48 Tahun, Pengrawit)
Pada proses pencarian data melalui wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan
narasumber utama tersebut sebanyak satu kali, namun disaat peneliti merasa ada yang perlu ditanyakan yang dilakukan adalah
melakukan wawancara kembali. Selain narasumber utama, ada juga narasumber pendukung yang telah diwawancara, antara lain Alfa
Lasta (20 tahun, penari Jathil), Nora Rukmawati (22 tahun,warga Desa Patihan
Wetan, Babadan, Ponorogo). Masing-masing narasumber tersebut diwawancarai sebanyak satu kali. Pada saat melakukan wawancara, peneliti menggunakan panduan
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar wawancara
yang dilakukan lebih terarah dan memperoleh data yang diperlukan untuk
keperluan penelitian. Proses wawancara dilakukan dengan perekaman, agar hasil
wawancara dapat tersimpan dengan baik. Selain itu, hasil wawancara tersebut
didengar kembali agar data-data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan
penelitian benar-benar lengkap, dan jika masih ada kekurangannya dilakukan
wawancara kembali.
3.
Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah
salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian
sosial. Pada intinya metodologi dokumenter adalah metode yang digunakan untuk
menelusuri data historis (Burhan Bungin, 2007:121). Metode dokumentasi yang
dipakai dalam penelitian ini adalah pengumpulan data dari segala benda tertulis
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Dalam kinerjanya penulis
meng-gunakan cara-cara kerja sejarawan yaitu heuristik, usaha menemukan
jejak-jejak sejarah. Setelah berhasil menemukan jejak-jejak yang akan menjadi
cerita sejarahnya maka langkah berikutnya adalah menilai, menguji atau
menyeleksi jejak-jejak tersebut sebagai usaha mendapatkan jejak atau sumber
yang benar. Dokumen-dokumen yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
foto-foto dan peralatan yang digunakan dalam acara Grebeg Suro.
B.
Objek Kajian dan Penentuan Data Menjadi Fakta
1.
Objek Kajian
Objek
dalam penelitian ini adalah Nilai-Nilai dalam Tradisi Grebeg Suro di
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan di Desa Kauman,
Kecamatan Kauman,
Kabupaten
Ponorogo. Desa Kauman merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Ponorogo
yang masih mempertahankan kesenian Reog sebagai kebanggaan desa. Wilayah
tersebut dipilih sebagai setting penelitian dikarenakan Desa Kauman, Kecamatan
Kauman merupakan salah satu desa yang terkenal dengan Reognya. Hal
tersebut disebabkan adanya tugu BantarAngin yang merupakan petilasan kerajaan
Bantar Angin sebagai sumber cerita dalam kesenian Reog.
2. Penentuan
Data Menjadi Fakta
Penentuan data menjadi fakta dalam
penelitian ini adalah kumpulan informasi yang diperoleh melalui berbagai
sumber, baik sumber yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan
para nara sumber yang mengetahui tentang Grebeg Suro, rekaman video, foto-foto,
maupun data-data yang berupa dokumen yang dimiliki oleh instansi atau lembaga
yang berkaitan dengan penelitian. Selain data-data tersebut didukung juga oleh
data-data yang berupa catatan-catatan,dan buku-buku yang diperoleh selama
dilakukannya observasi.
C.
Teknik
Analisis Data
Analisis
data yang digunakan adalah analisis deskriptif, sehingga data-data tersebut
digambarkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat. Data-data yang terkumpul
akan dianalisis secara kualitatif. Peneliti memaparkan dan berusaha
mengembangkan rancangan yang telah diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
sesuai dengan topik permasalahan. Tahap-tahap yang ditempuh peneliti adalah
sebagai berikut.
1.
Reduksi data
Reduksi data dapat
diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data
“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi
data berlangsung terus-menerus selama proses penelitian kualitatif berlangsung
(Miles dan Huberman, 1992: 16).
Pada tahap reduksi ini, peneliti mencatat dan merangkum uraian
panjang kemudian memisah-misahkan dan mengklasifikasikan data mengenai tradisi
Grebeg Suro di Ponorogo menjadi beberapa kelompok sehingga lebih mudah
dalam menganalisis.
2.
Sajian Data
Display atau penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam
langkah ini, peneliti menampilkan data-data yang sudah diklasifikasikan
sehingga mendapatkan gambaran secara keseluruhan mengenai Nilai-Nilai Islam dalam
tradisi Grebeg Suro .
3.
Pengambilan Kesimpulan
Setelah hasil reduksi dan display data diperoleh, maka
langkah terakhir yang peneliti lakukan adalah mengambil kesimpulan sesuai
dengan objek penelitian. Data yang disajikan dalam bentuk teks deskriptif
tentang Grebeg Suro diambil kesimpulan atau garis besar sesuai dengan
objek penelitian. Dalam langkah-langkah tersebut, peneliti menganalisis data
menjadi suatu catatan yang sistematis dan bermakna, sehingga pendeskripsian
menjadi lengkap.
D.
Analisis Pembahasan
1.
Sejarah
dan Pelaksanaan Grebeg Suro di Ponorogo
a.
Sejarah
Awal Grebeg Suro
Grebeg
Suro menjadi agenda penting di Ponorogo. Sejarah diadakannya tradisi[4]
Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat terutama
kalangan warok[5]
pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi
kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah
Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk
mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.[6]
Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai
luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog[7]
didalamnya.
Grebeg
Suro Menurut kamus Jawa Kuno Indonesia yang dimaksud dengan Grebeg adalah
derap banyak kaki yang bergemuruh. Sedangkan menurut sejarahnya, kata “grebeg”
berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai.
Hal ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Sedang grebeg
di Ponorogo mempunyai makna yaitu untuk mendekatkan diri dan memanjatkan
doa kepada Yang Kuasa agar senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan
serta merupakan acara tahunan dan kegiatan rutin bertujuan melestarikan
nilai-nilai luhur budaya bangsa senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan
serta merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro
pada tahun Jawa).
Suro
berarti
nama bulan pertama dalam tahun Jawa. Menurut sejarahnya, tahun atau tarikh Jawa
yang dibuat oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Pada waktu itu yang
digunakan adalah tarikh Saka dan Masehi, yang berdasarkan perhitungan putaran
matahari, serta tarikh Hijriah yang berdasarkan perhitungan putaran bulan.
Kemudian Sultan Agung membuat tarikh Jawa (Islam) yang berdasarkan putaran
bulan, melanjutkan umurnya tarikh Saka, 1555. Tahun Jawa mulai diberlakukan
sejak 1 Sura, Alip 1555 (1 Asvina 1555 Saka= 1 Januari 1633 Masehi = 1 Muharam
512 Hijriah )Tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung dilengkapi unsus-unsur
seperti; 7 hari ( Ahad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jumuah dan Setu ), 5 pasaran
( Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon ), 12 bulan ( Sura, Sapar, Mulud, dst.), 8
tahun ( Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir ), 4 windu ( Adi,
Kunthara, Sangsara dan Sancaya ), 30 wuku ( Sinta, Landep, Wukir, dst.), 12
mangsa (Kasa, Karo, Katelu, dan seterus-nya), serta 5 Kurup (Jamngiyah,
Kamsiyah, Arbangiyah/Aboge, Salasiyah/ Asapon dan Isneniyah ). Kelengkapan dari
unsur-unsur itu kemudian digunakan sebagai Pawukon, sebagai dasar perhitungan
perbintangan Jawa.
Pada
dasarnya Grebeg Suro Ponorogo merupakan suatu acara yang diadakan untuk
memperingati datangnya tahun baru Islam (dalam istilah Jawa disebut Suro) dan
kegiatan rutin yang bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa,
yakni kekhasan dan keaslian Reog yang menjadi seni asli Ponorogo .[8] Malam
1 Syura (Muharram) disambut dengan berbagai ritual sebagai bentuk intropeksi
diri, inilah keistimewaan malam 1 Syura.[9]
b.
Pelaksanaan
Grebeg Suro di Ponorogo
Bentuk perubahan budaya
ketika jaman dahulu Grebeg Suro, setiap menghadapi bulan Sura yang dilakukan
masyarakat Ponorogo yaitu mapag tanggal, dan mengadakan tirakatan dengan
berjalan bersama mengitari ringin kurung sebanyak tujuh puluh kali putaran
ditengah Alun-alun Kabupaten Ponorogo. Hiburan untuk masyarakat ketika jaman
dahulu ada pertunjukan ketoprak, ludruk dan wayang.[10]
Perubahan
budaya dizaman sekarang melaksanakan
prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Kemudian disusul
pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang
dihiasi. Berikutnya akan ada Festival Reog Nasional di alun-alun kota. Berbagai
acara-acara dihelat di Kota Reog seperti, Istighozah, Lomba Kakang Senduk,
pameran-pameran karya masyarakat Ponorogo, pameran bonsai, Festival Reog
Nasional XVIII, dan masih banyak lagi.
Pelaksanaannya
dimulai dengan Festival Reog Nasional yang dilaksanakan selama 4 hari. Sehari
sebelum 1 Suro diadakan Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka yaitu pusaka yang
merupakan duplikat dari pusaka Kerajaan Majapahit yaitu Payung Songsong Tunggul
Naga, Tombak Pusaka Kyai Wuluh Sanggar dan Cinde Puspito yang dikirab dari
makam Batoro Katong sampai ke pendopo Pemerintah Kabupaten (dari kota lama ke
kota baru). Malam 1 Suro diadakan penutupan Festival Reog Nasional dan
pengumuman lomba, dan tepat tanggal 1 Suro diadakan Larungan Risalah Doa di
Telaga Ngebel yang selalu diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi
tumpeng atau yang lainnya ini menurut banyak kalangan "hanya sebuah
ritual" atau "upaya melestarikan budaya leluhur".
Selain
nuansa budaya, Grebeg Suro juga mengadakan simaan Al-Quran dan istigosah yang
diikuti ribuan tokoh dan masyarakat. Untuk menyongsong malam tahun baru Suro,
pada umumnya diadakan tradisi membersihkan pusaka leluhur dan rasa syukur
dengan melakukan tirakatan (banyak berdzikir dan beramal soleh), kenduri
(selamatan membagi-bagi rezeki), membuat bubur suro yang kemudian diantar
ke-tetangga, handai taulan dan kerabat. Maksud dan tujuan utama melakukan
tradisi tersebut adalah menjalin silaturahmi, mengembangkan Ukhuwah Islamiah,
Bashoriyah, Wathoniah (keislaman, sesama muslim, persaudaraan sesama masyarakat
Ponorogo, dan kebangsaan sesama bangsa Indonesia) (Disbudparpora Ponorogo,
2008).
Umumnya para
penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara ini
mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta untuk menghormati
pendiri Kabupaten Ponorogo, Raden Batoro
Katong yang merupakan utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di
Ponorogo, serta beliau adalah saudara kandung tapi lain ibu dari Raden Patah,
Sultan Demak kala itu.
Setelah Raden Katong, sebagai utusan Raden Patah (raja Demak),
selanjutnya dapat menaklukkan Ki Demang Kutu (beragama Hindu) yang dahulu
memberontak kepada raja Brawijaya. Kemenangan Raden Katong terhadap Ki Demang
Kutu dilanjutkan dengan mendirikan kota kadipaten dan menjadi bupati pertama
dengan bergelar Bathara Katong tahun 1486 yang selanjutnya oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II Ponorogo dijadikan tahun berdirinya kota Ponorogo. Kesenian
Reog dipertahankan keberadaannya oleh Raden Katong. Bahkan, kesenian Reog
dijadikan media dakwah yang tujuannya untuk mengislamkan masyarakat Ponorogo.
Di bawah
kekuasaan Bathara Katong ini kesenian Reog mendapatkan beberapa tambahan dalam
perangkat atau peralatannya. Tambahan tersebut dimaksudkan agar unsur Islam
terlihat dalam kesenian itu. Beberapa tambahan menunjukkan bahwa kesenian Reog
telah di-Islamkan. Setelah Bathara Katong berkuasa maka dominasi unsur-unsur
Islam berikut ditonjolkan Dalam peralatan-peralatan yang merupakan simbol untuk
menyampaikan pesan dan mengandung makna. Demikian pula pula peralatan yang
digunakan dalam Grebek Suro khususnya dalam kesenian Reyog Ponorogo.
Simbol-simbol dalam kesenian Reyog Ponorogo mengandung makna sebagai berikut:[11]
1)
Gemblakan, yang dahulu diperankan oleh laki-laki ganteng dan didandani
seperti layaknya perempuan sebagai ‘klangenan’ warok, sekarang gemblakan
diganti dengan penari jathil (penari kuda kepang) yang pemainnya
perempuan. Penari jathil ini diibaratkan prajurit yang sedang berlatih perang.
2)
Tasbih atau merjan.
Di atas dhadhak merak (barongan) terdapat burung merak yang sedang
mematuk merjan atau tasbih. Hal ini mengandung makna bahwa tasbih
sebagai benda yang sering digunakan untuk berzikir.
3)
Gamelan Reog laras slendro memiliki
bilangan: 1, 2, 3, 4, 5, 6 jumlahnya 17. Angka 17 melambangkan bahwa shalat
wajib rakaatnya berjumlah 17.[12]
4)
Reog atau reyog berasal dari bahasa Arab : riyoqun, yang
artinya khusnul khatimah. Kata ini melambangkan bahwa seluruh perjalanan
hidup manusia walaupun banyak dosa, maka apabila telah sadar dan bertobat
akhirnya akan menemukan khusnul khatimah. Arti lainnya, kata Reog
merupakan harapan Bathara Katong setelah masyarakat Ponorogo yang Hindhu
beralih ke Islam nantinya akan menjadi manusia khusnul khatimah.
5)
Kendhang,
merupakan peralatan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qoda’a
yang artinya rem. Terkait dengan rem, dalam Islam terdapat konsep nafsu
yang apabila seseorang dapat mengendalikan gejolak nafsu (amarah, lauwamah,
dan supiah), maka orang akan dapat mencapai khusnul khatimah.
6)
Ketipung, merupakan salah
satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab katifun yang
artinya balasan. Setiap tindakan manusia apakah itu tindakan baik maupun
tindakan buruk semuanya akan menerima balasan. Tindakan baik akan mendapatkan
pahala, dan tindakan buruk akan mendapatkan laknat Tuhan.
7)
Kenong merupakan salah satu
peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab qona’a yang
artinya menerima takdir. Maksudnya, manusia dalam upayanya untuk mencari
keberhasilan hidup, agar tidak mendapatkan kecewa apabila tidak berhasil, maka
hasil akhir dari upayanya itu harus dikatakan sebuah takdir.
8)
Kethuk merupakan salah satu
peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab khothok yang
artinya banyak salah.
9)
Terompet merupakan salah
satu peralatan gamelan kesenian Reog berasal dari bahasa Arab shuwarun yang
artinya peringatan. Istilah terompet ini mengingatkan manusia bahwa besuk
setelah kiamat terjadi manusia dibangunkan dengan suara terompet malaikat yang
kemudian manusia akan mendapatkan pengadilan.
10) Angklung, merupakan salah satu peralatan gamelan kesenian Reog
berasal dari bahasa Arab anqul yang artinya peralihan. Maksud dari
istilah anqul bahwa manusia dalam hidupnya diharapkan untuk hijrah dari hal
yang buruk ke hal yang baik. Agar manusia hidupnya selamat di dunia dan di
akherat, maka harus hijrah dari keadaan buruk ke keadaan baik.
11) Udheng, merupakan tutup kepala pemain kesenian Reog berasal dari
bahasa Arab ud’u yang artinya mengajak atau menganjurkan. Maksud kata di
atas bahwa manusia diharapkan untuk mengajak dan menganjurkan berbuat kebajikan
kepada siapa saja tentang kebajikan dunia maupun kebajikan akherat.
12) Penadhon merupakan pakaian para pemain kesenian reog. Kata
tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya fanadun yang artinya
lemah. Perlu disadari bahwa manusia memiliki kelemahan dan kekhilafan. Untuk
itu, manusia diharapkan agar sesering mungkin mohon ampunan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa.
13) Usus-usus/ koloran merupakan
asesoris pakaian pemain kesenian Reog (warok). Kata tersebut berasal dari
bahasa Arab ushusun yang artinya tali/ ikatan. Maksud dari kata tersebut
bahwa manusia dalam hidupnya diharapkan dapat selalu menjalin tali silaturrahmi
kepada sesama (hablum minannas) dan menjali ikatan kepada Tuhan (hablum
minallah).
Tari dan pelaku merupakan unsur yang
dominan selain gamelan dalam setiap pementasan Reog Ponorogo, namun hal itu
masih perlu ditunjang unsur lain yang sangat yaitu unsur busana dan rias.
Masing-masing pelaku / peran dalam pementasan Reog Ponorogo mempunyai ciri-ciri
dan macam busana yang berbeda satu dengan yang lain, sesuai dengan
karakteristik dan arti sendiri-sendiri. Pada umumnya busana pelaku Reog
Ponorogo terdiri dari warna hitam,merah, putih dan kuning. Hal ini mengandung
arti dan karakteristik sendiri-sendiri misalnya warna hitam melambangkan sifat
ber-wibawa, tenang dan berisi. Serta merupakan lambang pengendalian nafsu
aluamah, warna merah berarti berani sesuai dengan karakter tari yang seroik
serta merupakan lambang pengendalian nafsu amarah, warna putih berarti
keberanian yang dilandasi dengan tujuan yang suci. Serta merupakan lambang
pengendalian nafsu mutmainah, warna kuning berarti mempunyai cita-cita untuk
memperoleh kebahagiaan dan kejayaan. Serta merupakan lambang pengendalian
nafsu.
2.
Nilai-Nilai Dalam Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo
Nilai
memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian (tingkatnya
tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai
kesenangan (tingkatnya terendah). Teori nilai Max Scheler
ini apabila dipakai untuk membedah nilai-nilai dalam Grebeg Suro Ponorogo, maka
akan ditemukan beberapa nilai. Nilai-nilai yang terungkap dalam Grebeg
Suro di antaranya sebagai berikut[13]:
a.
Nilai Kerohanian
1)
Nilai dakwah.
Kaitannya dengan kesenian
reog, sejak zaman Bathara Katong hingga sekarang kesenian Reog sangat efektif
untuk mengumpulkan massa. Banyak masjid apabila akan mengadakan peringatan hari
besar Islam sebelumnya dipertunjukkan kesenian reog. Hal ini untuk membuktikan
selain membuat keramaian juga menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam tidak
alergi terhadap seni-budaya reog. Terdapat faktor eksternal (‘awamil al-kharijiyyah)
dari ajaran Islam yang disiarkan Walisanga banyak unsur Islam yang memiliki
kesamaan dan kesesuai dengan unsur-unsur asli. kalung merjan
(tasbih) ditambahkan pada paruh burung merak yang melambangkan ajaran Islam[14]
2)
Nilai Kelestarian,
Nilai ini terungkap sejak upaya Bathara
Katong menaklukkan Ki Ageng Kutu dengan pendekatan kultural. Upaya kelestarian
itu hingga sekarang masih dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo
sebagai upaya kesinambungan. Mengadakan ritual budaya, seperti: ziarah ke makam
Bathara Katong, Grebeg Suro, festival reog nasional, dan pentas bulan purnama.
3)
Nilai Kepercayaan
Kaitannya dengan membuat
bubur Suro maknanya adalah supaya dalam satu satu tahun kedepan diberi
keselamatan.Kenduri atau selamatan maknanya adalah sebagai rasa sukur atas
rezeki dari Tuhan serta menjalin silaturahmi antarwarga. Kemudian, Tirakatan tidak
tidur pada malam satu suro maknanya adalah intropeksi diri atas kesalahan yang
telah dilakukan supaya tidak terulang lagi di tahun depan dengan banyak
berdzikir dan beramal saleh.
4)
Nilai Magis
Nilai magis menunjuk pada
keberadaan ilmu magis yang digunakan dalam permainan reog. Fauzannafi
mengemukakan keberadaan unsur magis/ mistis dalam Reog hingga tahun 1990-an
masih dilakukan dalam kesenian Reog obyogan di desa-desa bahkan beberapa ada yang masih menggunakan ritual-ritual
tertentu terutama untuk menyambut Grebeg Suro. Semua kesenian
tradisional tidak lepas dari unsur magisnya.
b.
Nilai-Nilai Spiritual
1) Nilai Budaya
Nilai budaya adalah
asumsi tentang keadaan yang diinginkan atau sebaliknya, anggapan tentang apa
yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan. Nilai ini
terungkap bahwa kesenian reog dalam Grebeg Suro memuat nilai-nilai kejawaan
yang adiluhung, sebagai tontonan dan tuntunan.Kesenian reog sebagai
seni-budaya tradisional khas Ponorogo, sehingga kesenian reog menjadi
representasi sekaligus sumber nilai bagi masyarakat Ponorogo
2) Nilai Keindahan
Kartinib.
mengemukakan pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai.
Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian
keindahan disebut nilai estetis. Dalam kesenian Reog terungkap pada : gerak
tari, tata busana, tata rias, dan aransemen gamelan.[15]
3)
Nilai seni
Nilai seni menunjuk pada istilah seni yang merupakan
proses menciptakan sesuatu yang indah, berguna atau mengherankan oleh budi
dengan bantuan dari kemampuan raga manusia. Kesenian Reog yang juga menjadi
bagian dari tradisi Grebeg Suro menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo, karena
dianggap memiliki keindahan dan berguna untuk hiburan.
4)
Nilai simbolik
Di dalamnya sarat dengan simbol-simbol. Seperti
dalam Peralatan Gamelan Reog dan pusaka-pusaka kebanggan Ponorogo.Simbol-simbol
ini sebenarnya merupakan ungkapan nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam
membangun karakter manusia.
c.
Nilai-Nilai Kehidupan
1)
Nilai kepahlawanan.
Kaitannya dengan kesenian reog, nilai a. kepahlawanan ini terungkap pada pemain
Reog. Para pemain Reog seperti warok, klana, jathil semuanya berperan
sebagai sosok pahlawan.
2)
Nilai keadilan. Kaitannya
dengan kesenian Reog, nilai-nilai b. keadilan terungkap bahwa kesenian
merupakan ungkapan rasa kekeluargaan dan kegotongroyongan. Dari dalam
kekeluargaan dan kegotongroyongan itu memuat hak dan kewajiban. Siapa pun
orangnya apabila menginginkan keadilan lakukanlan dan penuhilah hak dan kewajibannya.
3)
Nilai kesejahteraan. Kaitannya
dengan kesenian reog, nilai kesejahteraan ini mengandung makna kesejahteraan
lahir dan batin. Kesejahteraan lahir dan batin inilah yang akan menjadi tujuan
pertunjukan reog. Kesejahteraan lahir didapat dari hasil tanggapan, sedangkan
kesejahteraan didapat dari kepuasan setelah mengadakan pertunjukan.
d.
Nilai-nilai Kesenangan
1)
Nilai hiburan. Terletak pada
para pemain Reog dan penontonnya. Biasanya menjadi pemain Reog hanya hobi atau
menghibur diri di saat mempunyai waktu senggang. Penonton juga merasa terhibur
apabila terdapat pertunjukan reog.
2)
Nilai kepuasan. Kaitannya
dengan kesenian reog, nilai b. kepuasan ini terungkap pada para pemain setelah
mengadakan pentas, penanggap merasa puas setelah memberikan hiburan gratis pada
masyarakat. Sehingga, baik pemain, penonton, dan pihak-pihak yang terlibat
merasakan puas.
3)
Nilai kompetitif. Kaitannya
dengan kesenian reog, nilai kompetitif terletak pada setiap group Reog harus
selalu memperbaiki pertunjukannya agar dalam acara kompetisi mendapatkan juara.
Misal, dalam festival Reog nasional.
4)
Nilai material. Kaitannya
dengan kesenian reog, nilai material terungkap dalam rasa senang. Sejauh mana
kesenian Reog sebagai sumber rasa senang. Beberapa pihak yang mendapatkan rasa
senang, seperti : pemain, penonton, pengrajin, Pemerintah Daerah,
lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan, seniman, masyarakat umum, dan sebagainya.
5)
Nilai pertunjukan ini terungkap bahwa
kesenian reog memiliki dua jenis pertunjukan, yaitu pertunjukan di panggung
(reog pentas) pentas dan pertunjukan bukan di panggung (reog objogan).[16]
Mengacu pada teori nilai Max Scheler ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai agama (Islam) yang berisi nilai-nilai kerohanian mendapatkan tempat
tertinggi dibanding dengan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai kerohanian tersebut
meliputi: dakwah, kelestarian, kepercayaan, dan magis. Sedangkan nilai-nilai
budaya meliputi: budaya, keindahan, moral, seni, simbol, superioritas,
kepahlawanan, keadilan, kesejahteraan, hiburan, kepuasan, kompetisi, materi,
dan pertunjukan. Hierarki nilai ini di dalamnya terdapat
hierarki dari tingkat yang lebih tinggi menurun hingga ke tingkat yang lebih
rendah yang bersifat apriori.
E. Simpulan
Penelitian
ini dilakukan untuk mengkaji secara menyeluruh nilai-nilai dalam tradisi Grebeg
Suro di Kabupaten Ponorogo dengan tolak ukur teori nilai Max Max Scheler yang. berargumen
bahwa nilai memiliki hierarki sebagai berikut: nilai-nilai kerohanian
(tingkatnya tertinggi), nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kehidupan, dan
nilai-nilai kesenangan (tingkatnya terendah). Sebagian besar masyarakat hanya
mengetahui prosesi dari Grebeg Suro tanpa tahu arti maupun nilai-nilai penting
yang terkandung di dalamnya.
Keunikan
sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa merupakan tradisi religius yang diwariskan
secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan perwujudan dari kepercayaan
yang kuat terhadap adat istiadat serta tanggapan masyarakat terhadap kekuatan
alam dan kekuatan gaib untuk mengetahui makna yang terkandung dalam upacara.
Adat mempunyai makna religi bagi para pendukungnya, di mana masyarakat akan
mendapatkan rasa aman dan ketenangan batin apabila telah melaksanakannya dengan
memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Menurut Herusasoto (2008:8) salah satu tradisi atau
adat tata kelakuan adalah tingkat nilai budaya yang berupa ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan
biasanya berakar dalam bagian emosional dan alam jiwa manusia. Grebeg Suro
sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jawa kususnya masyarakat Ponorogo
karena merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro
pada tahun Jawa) dan kegiatan rutin yang bertujuan melestarikan nilai-nilai
luhur budaya bangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reog yang menjadi kesenian
asli Ponorogo. Dengan digelar festival tahunan diharapkan seluruh anak bangsa
dan manca negara memahami bahwa Reog merupakan kesenian asli Ponorogo. Selain
itu juga untuk memperingati serta menyukuri kedatangan tahun baru Islam.
F.
Penutup
Grebeg Suro merupakan tradisi
yang ada di Kabupaten Ponorogo. Grebeg Suro memiliki nilai-nilai yang
penting untuk diketahui di dalamnya, maka peneliti mengajukan beberapa saran
sebagai berikut.
1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan. Para peneliti
dan mahasiswa hendaknya mau meneliti tentang kebudayaan-kebudayaan di Indonesia
khususnya di daerah sekitar tempat tinggal. Nilai-nilai dalam tradisi Grebeg
Suro masih perlu dikaji kembali.
2. Untuk
masyarakat, harus lebih mengenal makna dari Grebeg Suro dan kesenian Reog
yang menjadi keunikan dari pelaksaan Grebeg Suro di Ponorogo daripada daerah
lainnya serta tetap menjaga, melestarikan,dan menyemarakkan Grebeg Suro setiap
tahunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro.
2014. “Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan
Pembangunan Karakter Bangsa” dalam Jurnal Teologia Volume 25, Nomor 1,
Januari-Juni 2014
Aizid,
Riziem. 2015. Islam Abangan dan
Kehidupannya. Yogyakarta: Dipta
Achmadi, Asmoro. 2013. “Pasang Surut Dominasi Islam terhadap
Kesenian Reog Ponorogo” , dalam jurnal
Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni
Daksono & Kardi. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo.
Ponorogo: Pemda Tingkat II Ponorogo
Frondizi,
Risieri. 1963. What is Value?: An Introduction to Axiology, LaSalle,
Ill. : Open Court Pub Co, 1963
H.
Titus, Harold,dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasyidi.
Jakarta: Bulan Bintang
Kartini. 2008. Horizon Estetika. Yogyakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Filsafat UGM,
Paramita
Herma, Wahyu. 2014. “Tradhisi Grebeg Sura
Ing Kabupaten Ponorogo (Tintingan Owah Gingsir Kabudayan)” dalam Jurnal Baradha Vol 2, No 3 : Yudisium
III Wisuda Ke 81
Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa. Bandung:
Mizan Press
Zulianti Hanif, Muhammad. 2012. “Simbolisme Grebeg Suro Di
Kabupaten Ponorogo” dalam
Jurnal Agastya Vol . 0 2
kkbi.web.id
Diakses pada 20 Mei 2018 Pukul 21.40 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Suro
Diakses pada 20 Mei 2018 Pukul 21.40 WIB
[2] Risieri Frondizi, What is
Value?: An Introduction to Axiology, LaSalle, Ill. : Open Court Pub Co,
1963, hlm. 82-83.
[3] Harold H. Titus, Marylin S.
Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 123-124.
[4]Tradisi
merupakan kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan
dalam masyarakat, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendiknas/ Pusat
Bahasa, dalam kkbi.web.id
[5] Warok berarti pendekar atau jagoan berkelahi yang
disegani di daerah Ponorogo dan sekitarnya, biasanya menjadi pimpinan
perkumpulan reog, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendiknas/ Pusat
Bahasa, dalam kkbi.web.id
[7]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
reog merupakan tarian tradisional
dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur
magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak,
ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping
[8] Muhammad
Hanif Zulianti, “Simbolisme Grebeg Suro Di
Kabupaten Ponorogo” dalam Jurnal Agastya Vol . 0 2, 2012 hlm. 39
[10]
Wahyu
Paramita Herma, “Tradhisi Grebeg Sura Ing
Kabupaten Ponorogo (Tintingan Owah Gingsir Kabudayan)” dalam Jurnal Baradha Vol 2, No 3 (2014):
Yudisium III Wisuda Ke 81 hlm. 3
[11]
Asmoro Achmadi, Aksiologi Reog Ponorogo Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa dalam
Jurnal Teologia,
Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014 hlm. 12
[12]Daksono & Kardi, Pedoman
Dasar Kesenian Reog Ponorogo, (Ponorogo: Pemda Tingkat II Ponorogo, 1996)
hlm. 6.
[13]
Asmoro
Achmadi, “Pasang
Surut Dominasi Islam terhadap Kesenian Reog Ponorogo” , dalam jurnal Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni
2013 hlm. 123
[16] Asmoro Achmadi, Aksiologi Reog Ponorogo
Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa dalam Jurnal Teologia,
Volume 25, Nomor 1, Januari-Juni 2014 hlm. 18-19
Makasih sangat bermanfaat
BalasHapus