PERKEMBANGAN







                                                        Oleh : Ayu Eka Saputri



A.    Definisi Perkembangan

Perkembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti  mekar terbuka atau membentang ; menjadi besar ; luas, dan banyak, serta menjadi sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata “berkembang” tidak hanya meliputi aspek abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret.[1]
Para ahli psikologi juga mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perkembangan. Mereka memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Sebagian ada yang menyamakan antara pengertian pertumbuhan dengan pengertian perkembangan, sebagian lagi ada yang membedakannya. Yang membedakan keduanya juga terbagi dalam dua kelompok, ada yang membedakannya dalam segi cakupan perubahan yang terkandung di dalamnya dan ada yang membedakannya dari segi sifat perubahan yang ditimbulkan.
Bagi para ahli yang menyamakan keduanya menyatakan bahwa pertumbuhan atau perkembangan sama-sama merupakan rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia menuju ke arah yang lebih maju dan sempurna. Bagi ahli yang membedakannya dari segi cakupan mendefinisikan pertumbuhan sebagai perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik secara normal pada anak yang sehat dalam peredaran waktu tertentu. Sedangkan perkembangan adalah perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan yang menguntungkan dalam perwujudan proses aktif terjadi secara kontinu. Hal ini berarti bahwa perkembangan lebih luas cakupannya daripada pertumbuhan.
Bagi ahli yang membedakan pengertian pertumbuhan dan perkembangan dari segi sifat perubahan yang ditimbulkan menganggap bahwa pertumbuhan adalah perubahan kuantitatif bagian materiil pada diri manusia sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Perubahan kuantitatif ini dapat berupa pembesaran atau pertambahan dari tidak ada menjadi ada, dari kecil menjadi besar, dari sempit menjadi luas, dan sebagainya. Sementara perkembangan dianggap sebagai perubahan kualitatif dari fungsi-fungsi yang disebabkan oleh adanya proses pertumbuhan materiil dan belajar. Jadi, perubahan yang ditimbulkan pada pertumbuhan adalah bersifat kuantitatif, sedangkan yang ditimbulkan oleh perkembangan adalah bersifat kualitatif.[2]
Dalam Dictionary of Psychology, pada prinsipnya perkembangan adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terkandung dalam diri organisme-organisme tersebut.[3]

B.     Nilai-Nilai yang Melandasi Perkembangan Anak

Pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan potensi anak atau peserta didik ke arah pencapaian kedewasaan. Kedewasaan berarti kemandirian dan bertanggung jawab dan berkembangnya potensi menjadi orang yang kreatif, produktif, inovatif. Perkembangan ini dilandasi oleh nilai-nilai rohaniah, jasmaniah, intelektual, sosial, dan emosional.

a.       Nilai-nilai rohaniah
Nilai rohaniah yaitu nilai yang menyangkut keagamaan, rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air, dan cinta sesama manusia. Apabila nilai ini tidak dikembangkan sejak kecil, maka manusia itu tidak akan cinta kepada Allah dan RasulNya. Nilai rohaniah sangat penting, tak jarang jika seorang wanita yang sedang hamil sudah mengajarkan nilai ini pada bayinya.

b.      Nilai-nilai jasmaniah
Nilai jasmaniah lebih mengarahkan pada kesehatan badan. Apabila orang sehat, maka semua tugas di dunia ini dapat dilakukan. Dan apabila badan tidak sehat tentu saja tugas-tugas akan terbengkalai.



c.       Nilai-nilai intelektual
Nilai intelektual berhubungan dengan kecerdasan atau kepintaran. Perkembangan intelektual juga tak kalah penting,  karena untuk mengatasi segala persoalan di dunia ini harus ada kecerdasan. Apabila kecerdasan seseorang kurang, maka ia akan ketinggalan jauh dengan orang lain.

d.      Nilai-nilai sosial
Nilai ini juga sangat dibutuhkan oleh anak. Karena berapa tingginya pendidikan seseorang jika tidak memiliki nilai sosial, maka harga anak itu akan jatuh di mata masyarakat.

e.       Nilai-nilai emosional
Emosi adalah nilai yang menentukan sikap seseorang dalam bergaul. Apabila jelek emosinya, maka orang akan menjauhinya dan begitu juga sebaliknya. Di sini peran keluarga sangat lah penting. Karena emosi dipengaruhi oleh keluarga pula,  jadi keluarga harus selalu menjaga dan memantau emosi anak.[4]


C.    Periodesasi Perkembangan Anak

Dalam perspektif perkembangan, kehidupan manusia terbagi dalam tiga masa, yaitu masa prenatal, masa perinatal, dan masa post natal. Masa prenatal yaitu masa kehidupan janin dalam kandungan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ibunya, baik kondisi fisik maupun kondisi psikisnya. Masa perinatal yaitu masa pada saat bayi dilahirkan, apakah dia lahir secara normal, prosesnya sangat lama atau membutuhkan alat bantu untuk melahirkannya, atau mungkin harus operasi. Sedangkan masa post natal yaitu masa sejak bayi lahir hingga masa lanjut usia.
Hurlock (1998) membagi rentang kehidupan manusia pada masa post natal menjadi sembilan fase, yaitu :
1.      Masa Orok : dimulai dari kelahiran hingga usia 2 minggu
2.      Masa Bayi : dari usia 2 minggu hingga 2 tahun
3.      Masa Awal Kanak-kanak : dimulai dari usia 2 sampai 6 tahun
4.      Masa Akhir kanak-kanak : dimulai dari usia 6 sampai 10/12 tahun
5.      Masa Puber : dimulai dari 10/12 tahun hingga 13/14 tahun
6.      Masa Remaja : dari usia 13/14 tahun sampai 18 tahun
7.      Masa Dewasa : diawali dari usia 18 hingga 40 tahun
8.      Masa Usia Pertengahan : dari usia 40 sampai 60 tahun
9.      Masa Usia Lanjut : dari 60 tahun ke atas

Sedangkan menurut Islam, periodesasi perkembangan manusia terbagi menjadi tiga periode. Pertama, periode prakonsepsi, yaitu perkembangan manusia sebelum terjadi pembuahan ovum oleh sperma. Tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh calon orang tua pada periode ini adalah : (1) mencari pasangan hidup yang baik, (2) segera menikah secara sah setelah cukup umur, (3) membangun keluarga yang sakinah, dan (4) selalu berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang baik.
Kedua, periode pre-natal, yaitu perkembangan manusia yang dimulai setelah terjadi konsepsi hingga lahir. Periode ini terbagi menjadi empat fase, yaitu : (1) fase nuthfah (zigot) yang dimulai sejak konsepsi hingga usia kandungan 40 hari; (2) fase ‘alaqah (embrio), selama 40 hari berikutnya;  (3) fase mudghah (janin), selama 40 hari berikutnya; dan (4) fase peniupan ruh ke dalam janin setelah usia janin mencapai empat bulan. Tugas-tugas yang harus dilakukan oleh orang tua pada periode ini adalah : memelihara suasana psikologis yang damai dan tenram, senantiasa meningkatkan ibadah dan meninggalkan maksiat, terutama bagi ibu, dan berdoa kepada Allah Swt.
Ketiga, periode kelahiran sampai meninggal dunia. Periode ini terbagi menjadi enam fase, yaitu :
1.      Fase Neo-natus, yaitu dimulai dari kelahiran sampai usia 1 bulan.
2.      Fase Kanak-kanak (al-thifl), yaitu usia 1 bulan hingga 7 tahun.
3.      Fase Tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
4.      Fase Baligh, yaitu fase di mana anak-anak sudah mencapai kedewasaan, terutama pada aspek biologis.
5.      Fase Kearifan dan Kebijakan, yaitu fase di mana seseorang telah memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual, dan agama secara mendalam.
6.      Fase kematian, yang terbagi menjadi dua fase, yaitu fase naza’ dan fase barzah yaitu fase di mana jasad manusia dikubur dan kembali menjadi tanah, sedang ruhnya kembali ke alam arwah sampai datangnya hari kiamat.[5]

















Lingkungan Sebagai Penentu perkembangan


A.    Teori Ekologi Bronfenbrenner
Teori Ekologi Bronfenbrenner dikembangkan oleh Urie Bronfebrenner (1917) yang fokus utamanya adalah pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang memengaruhi perkembangan anak. Teori ini terdiri dari lima sistem. bronfenbrenner menyebut sistem-sistem itu sebagai mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem.
1.      Mikrosistem, yaitu setting di mana individu menghabiskan banyak waktu. Antara lain yang termasuk dalam sistem ini adalah : keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga.
2.      Mesosistem, yaitu kaitan antar mikrosistem. Contohnya adalah hubungan anatara pengalaman delam keluarga dengan pengalaman di sekolah, dan antara keluarga dengan teman sebaya.
3.      Eksosistem, yaitu pengalaman yang terjadi di setting lain yang mempengaruhi pengalaman murid dengan guru. Misalnya dewan sekolah dengan dewan pengawas taman di dalam suatu komunitas. Mereka memegang kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan. Keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
4.      Makrosistem, yaitu kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas di mana murid dan guru tinggal, termasuk nilai, dan adat istiadat masyarakat.
5.      Kronosistem, yaitu kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Bronfenbrenner makin banyak memberi perhatian pada kronosistem sebagai sistem lingkungan terpenting. Dia memperhatikan dua problem penting : (1) banyaknya anak yang hidup dalam kemiskinan, terutama dalam keluarga single-parent; dan (2) penurunan nilai-nilai.[6]

B.     Aliran Empirisme
Aliran empirisme merupakan aliran yang berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama “environmental psychology” (psikologi lingkungan). Tokoh aliran empirisme ini adalah John Locke.
Doktrin aliran empirisme yang mahsyur adalah “tabula rasa”, sebuah istilah bahasa Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong.
Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak tergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.[7]
            Hingga awal abad ke-20, para ahli masih menyatakan bahwa lingkungan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi perkembangan anak. Penelitian terkenal yang mendukung asumsi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli psikiatri yang bernama Rene Spitz pada tahun 1940-an. Spitz membandingkan perkembangan anak-anak yang dibesarkan oleh ibunya sendiri di dalam penjara dengan anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang secara ketat diasuh dan dirawat ibunya sendiri yang tahu tentang pentingnya perawatan dan pengasuhan yang benar dan baik, tumbuh menjadi anak yang normal. Namun sebaliknya anak yang diasuh di panti asuhan tidak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang normal, terutama dilihat dari perkembangan sosial emosionalnya.[8]

C.    Lingkungan dalam perspektif Islam

Dalam pandangan Islam juga menyebutkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Disebutkan dalam salah satu hadits bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun kemudian kondisi lingkungan yang diberikan oleh orang tua menjadikan anak sebagai yahudi, nasrani, atau majusi.[9]





























LINGKUNGAN KELUARGA


Sulit dimungkiri bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak, terutama lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga). Faktor orang tua atau keluarga ini sangat menentukan arah perkembangan masa depan anak, terutama seorang ibu. Menurut Klein, inti dari kepribadian berasal dari hubungan awal dengan ibu.[10] Dan perkembangan masa depan anak juga dipengaruhi oleh sifat dan keadaan keluarga. Sifat orang tua (parental trait) yang dimaksud ialah gaya khas dalam bersikap, memandang, memikirkan, dan memperlakukan anak. Contoh : kelahiran bayi yang tidak dikehendaki (misal akibat pergaulan bebas) akan menimbulkan sikap dan perlakuan orang tua yang bersifat menolak (parental rejection). Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu melindungi anak akan mengganggu perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut hasil penelitian Chanzen, ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak pada kemudian hari.
Namun demikian, perlu pula dikemukakan sebuah ironi faktual, yakni di antara para anak yang dijuluki nakal dan brutal khususnya di kota-kota ternyata cukup banyak yang muncul dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik terlahir dari keluarga yang tidak berpendidikan dan tidak berada atau bahkan dari keluarga yang tidak harmonis.[11]
Perlakuan keluarga sangat penting bagi perkembangan anak, terutama pada masa bayi hingga masa kanak-kanak. Menurut Erikson, pada masa bayi ini anak sangat tergantung pada pengasuh untuk mendapatkan makanan, pakaian, kehangatan, dan pengasuhan.[12] Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga akan selalu memengaruhi berkembangnya watak, budi pekerti, dan kepribadian seorang anak.[13] Ketika mereka membentuk hubungan dan mengembangkan rasa mengorganisasikan diri pada tahap awal, kemudian segera mengembangkan dimensi psikososial, termasuk munculnya perilaku prososial atau kapasitas untuk membantu, bekerja sama, dan berbagi dengan orang lain. Fungsional keluarga pada masa ini sangat penting karena untuk mempersiapkan anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas. Salah satunya adalah lingkungan sekolah.
Perilaku-perilaku orang tua juga berpengaruh pada perkembangan representasi mental anak. Di masa pra-operasional ini, seorang anak akan meniru perilaku orang tuanya atau orang-orang yang berada di sekitarnya yang pernah ia lihat.
Beberapa psikolog berteori bahwa kesalahan dalam ikatan awal dan pengalaman dapat memunculkan masalah psikologis di kemudian hari. Masalah ini mencakup garis batas gangguan kepribadian yang ditandai dengan perubahan yang cepat dalam menykai atau membenci diri sendiri dan orang lain.
A.    Faktor-faktor dalam lingkungan keluarga yang memengaruhi perkembangan anak :

1.      Hubungan keluarga
Hubungan keluarga sangat penting untuk perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak prasekolah. Banyak aspek dan dimensi yang memberi konstribusi bagi perkembangan psikososial anak.
a.       Anak
Fungsi orang tua antara lain adalah mengasuh anak dengan baik. Orang tua yang berbeda menggunakan teknik pengasuhan yang berbeda pula kepada anak-anaknya. Teknik pengasuhan orang tua tergantung pada standr budaya dan masyarakat, situasi, dan perilaku anak pada waktu itu. Ada orang tua yang menggunakan kontrol pengasuhan yang ketet, ada pula yang dilakukan dengan penuh kehangatan dan penuh cinta.
Gaya pengasuhan keluarga dan orang tua memiliki dampak tertentu pada anak. Gaya demokratis orang tua menumbuhkan komunikasi dan pemecahan masalah secara terbuka antara orang tua dan anak. Di sini, baik orang tua maupun anak harus bertanggung jawab pada semua waktu dan situasi, seperti tingkat kontrol yang tidak sehat menyebabkan “perebutan kekuasaan” dalam keluarga.
b.      Saudara kandung
Terlepas dari perbedaan usia, hubungan saudara merupakan cermin hubungan sosial lainnya, menyediakan persiapan dasar untuk berhubungan dengan orang di luar rumah. Tetapi, bagi anak yang tanpa saudara tidak selalu mengalami kerugian dalam perkembangannya. Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan sendiri di dalam keluarga berpotensi sama untuk berkembang diabanding dengan anak-anak yang memiliki saudara kandung –jika tidak lebih baik dari yang lain- dilihat dari perkembangan kepribadian, kecerdasan dan prestasi.
c.       Keadaan keluarga dan kelas sosial
Keadaan orang tua secara pasti mempengaruhi perkembangan anak. Karenanya, dengan keluarga yang aman dan utuh serta mempunyai keuangan yang baik anak-anaknya pun cenderung berkembang dengan baik. Sayangnya, tidak semua keluarga mempunyai sumber daya yang memungkinkan orang tua untuk tetap tinggal di rumah pada siang hari atau untuk membeli layanan penitipan anak sebaik mungkin. Selain itu, tidak semua keluarga mampu mengakses layanan kesehatan yang diperlukan. Konsekuensi emosional jangka panjang bagi anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah sangat mungkin memerlukan perhatian yang lebih serius.[14] Dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga meliputi : tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan penghasilan orang tua.



2.      pola asuh orang tua
a.       Pola asuh otoriter : menekankan pada pengawasan orang tua pada anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Orang tua bersikap tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Anak menjadi kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah gugup. Karena sering mendapat hukuman anak menjadi sulit disiplin dan nakal.
b.      Pola asuh Permissive : orang tua memberi kebebasan sebanyak mungkin kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab, dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.
c.       Pola asuh authoritative : adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak, yang berarti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar berdisiplin.

3.      Urutan kelahiran
Yaitu perbedaan perlakuan orang tua atau keluarga terhadap masing-masing anaknya.






















LINGKUNGAN SEKOLAH


Pada dasarnya perkembangan anak juga tidak lepas dari pengaruh lingkungan pendidikan. Hal ini berarti masa depan kehidupan seorang anak banyak dipengaruhi oleh proses pendidikan yang mereka alami. Dalam hal ini tentu saja yang dimaksud adalah lingkungan sekolah. Karena selama ini pendidikan tidak lepas dari sekolah. Lingkungan sekolah seyogiayanya ditata sebaik mungkin agar memberi efek positif terhadap perkembangan intelegensi anak.[15]
Dalam kerangka layanan pendidikan, ini bermakna bahwa perkembangan peserta didik akan teroptimasi, jika guru dan tenaga kependidikan mampu memerankan fungsi pada tempat dan ruang yang sesuai. Namun demikian, kapasitas guru dan tenaga kependidikan tetap pada batas-batasnya, sesuai dengan otensi dasar anak.[16]

Lingkungan Sekolah dan perkembangan motor (fisik) anak
Proses pendidikan dan pengajaran anak di sekolah merupakan pendukung yang sangat berarti bagi perkembangan motor atau fisik anak, terutama dalam hal perolehan kecakapan-kecakapan psikomotor atau ranah karsa anak tersebut.
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar atau ibtidaiyah pada umur enam atau tujuh tahun sampai dua belas atau tiga belas tahun, perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar seimbang dan proporsional. Artinya, organ-organ jasmani tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar dari yang semestinya.
Gerakan-gerakan tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Perkembangan kemampuan fisik anak kurang berarti dan tidak bisa meluas menjadi keterampilan-keterampilan psikomotor yang berfaidah tanpa usaha pendidikan dan pengajaran.


Lingkungan sekolah dan Perkembangan sosial anak
Lingkungan sekolah sebagai tempat pendidikan formal anak, memiliki peranan penting dalam mengembangkan psikososial anak. Perkembangan psikososial anak, adalah proses perkembangan kepribadian anak selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan sosial, menurut Bruno (1987), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam musyawarah), yakni pribadi dalam keluarga, budaya maupun bangsa. Kualitas hasil perkembangan sosial anak sangat bergantung pada kualitas belajar anak, yang berarti kualitas lingkungan sekolah juga memiliki andil dalam hal ini.



Guru dalam proses perkembangan anak
Program pengajaran di sekolah yang baik adalah yang mampu memberikan dukungan besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan mereka. Sehubungan dengan ini, setiap guru di sekolah selayaknya memahami seluruh proses dan tugas perkembangan manusia. Khususnya yang berkaitan dengan masa prayuwana dan yuwana, yakni anak-anak dan remaja yang duduk di sekolah-sekolah dasar/ibtidaiyah dan menengah. 
Konsekuensi peningkatan kualitas anak menimbulkan perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya menyangkut cara melatih keterampilan siswa, melainkan juga kepiawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang alasan dan cara keterampilan tersebut dilakukan.
Selain itu, guru yang baik juga harus mampu memahami perbedaan di antara anak-anak didiknya, terutama para guru yang mengajar di Taman Kanak-Kanak (Tk) dan guru Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah. Setiap anak memiliki tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Di sini lah peran seorang guru sangat diperlukan bagi kelanjutan berkembangnya para peserta didik. Peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah teman-temannya misalnya, guru harus lebih memberi perhatian kepada anak tersebut  agar dia tidak merasa minder dan mengakibatkan terganggunya perkembangan anak itu nantinya.
Seorang guru sebaiknya juga jangan terlalu membatasi anak didiknya. Biarkan mereka mengekspresikan pemikirannya sesuai dengan porsinya. Anak-anak memiliki daya imajinasi yang tinggi, dengan memberi kebebasan berimajinasi ini lah guru dapat mengamati bagaimana tingkat perkembangan para peserta didiknya. Perkembangan anak atau peserta didik merupakan buatan dan karenanya proses pengembangan mereka harus dioptimasi.[17]
Misalnya pada masa peka, yaitu masa di mana anak mudah terangsang atau mudah menerima stimulus, peran guru dalam memperhatikan anak-anak didik sangat penting. Karena menurut para ahli, masa peka ini hanya datang sekali seumur hidup. Sehingga keterlambatan memanfaatkan masa yang sangat berharga tersebut akan menyulitkan seorang anak dalam belajar.[18]
Kecakapan-kecakapan jasmani (motor skills) seorang anak perlu dipelajari melalui aktivitas pengajaran yang disampaikan oleh seorang guru dan memberi latihan secara langsung. Aktivitas latihan perlu dilaksanakan secara berulang-ulang, termasuk praktik gerakan-gerakan yang salah atau tidak dibutuhkan, sehingga anak mampu memahami bagian yang keliru dan dapat segera melakukan perbaikan.
Pola kontrol guru
Layaknya orang tua, seorang guru juga harus selalu mempunyai kontrol terhadap para peserta didiknya. Kontrol diperlukan sesuai dengan standar disiplin yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh sekolah. Hal ini bertujuan untuk membangun hubungan yang hangat antar guru dan siswa. Salah satu tugas guru adalah membantu proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Bimbingan kepada peserta didik untuk pengembangan kecerdasan emosional bermanfaat dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Peserta didik memiliki daya adaptabilitas tinggi, tanpa harus berstandar ganda atau berpura-pura.
2.      Peserta didik memiliki toleransi terhadap aneka perilaku teman-temannta, guru, dan masyarakat.
3.      Peserta didik memiliki toleransi terhadap aneka kekecewaan.
4.      Peserta didik mampu mengungkapkan kemarahan tanpa wujud sebagai pertengkaran.
5.      Peserta didik memiliki kemampuan menahan diri atau “menunda nafsu amarah”, sehingga tidak menjdi agresif.
6.      Peserta didik mempunyai perasaan positifterhadap diri sendiri, orang tua, keluarga, dan masyarakat di sekelilingnya.
7.      Peserta didik memiliki pandangan positif terhadap guru dan kmunitas sekolah.
8.      Peserta didik mampu mengurangi ekspresi verbal yang akan menjatuhkan dan merendahkan martabat orang lain.
9.      Peserta didik mampu meningkatkan hubungan pribadi dengan individu lain atau teman-temannya.

Gaya kepengasuhan guru
Gaya pengasuhan atau teknik pengasuhan guru akan berdampak pada perkembangan anak. Guru yang menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter akan menimbulkan rasa takut dan anti kreatif kepada siswanya, disamping ketergantungan yang laten. Tak jarang peserta didik akan menunjukkan sikap yang memberontak akibat perlakuan guru yang pesimis terhadapnya.
Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana guru membantu peserta didik untuk memahami, menerima, dan memanfaatkan kemampuan, bakat, minat, sikap, dan pola hidup mereka sesuai dengan aspirasi dirinya.
Kegiatan bimbingan menjadi bagian integral dari upaya untuk membangun pendidikan dengan melibatkan pengalaman-pengalaman guru yang membantu setiap peserta didik mampu memahami dan menerima dirinya sendiri dan hidup secara efektif di dalam masyarakat. Substandi bimbingan itu merupakan tambahan pengalaman bagi peserta didik tentang kehidupan akademik, dunia kerja, dan dinamika kehidupan pada umumnya.
Dengan demikian, BK adalah pelayanan bantuan bagi peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mereka bisa mandiri dan berkembang secara optimal, baik dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku. Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif, sistemik, dan sistematik dalam memfasilitasi dan menginisiasi peserta didik untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat peserta didik dalam lingkungannya.[19]
















Lingkungan Masyarakat (lingkungan sosial)

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan ketiga setelah pendidikan di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah. Bila dilihat ruang lingkup masyarakat, banyak dijumpai keanekaragaman bentuk dan sifat masyarakat. Di lingkungan ini juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena masyarakat lah yang menyumbang pendidikan seumur hidup bagi seorang anak.
Di lingkungan masyarakat, perkembangan moral sosial anak dibentuk. Dengan adanya norma-norma yang berkembang di masyarakat itu lah anak-anak akan mengikuti dan menanamkan setiap moralnya. Sebagai contoh, anak yang tinggal di desa cenderung memiliki rasa gotong royong yang tinggi. Hal ini karena msyarakat desa sering melakukan kegiatan gotong royong untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Jadi, terbukti bahwa perkembangan moral anak di sini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat.
Dalam perkembangan moral anak, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai contoh, terdapat dorongan yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.[20] Anak yang memiliki hubungan yang penuh kasih, stabil, dan menerima asuhan yang baik dari orang tua dan saudara kandungnya, pada umumnya lebih cenderung membentuk hubungan yang sama baiknya dengan teman-temannya.
Seperti halnya orang dewasa, anak-anak cenderung mengembangkan persahabatan dengan anak-anak yang memiliki kepentingan bersama, menyenangkan, menawarkan dukungan, dan mirip dalam ukuran dan penampilannya.usia persahabatan menciptakan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar bagimana menangani –memancing kemarahan, berbagi, belajar nilai-nilai, dan mempraktikkan perilaku yang lebih matang.[21]
Pengaruh kelompok sebaya
Kelompok sebaya berpengaruh penting bagi perkembangan sepanjang sejarah hidup seorang anak. Tetapi pengaruhnya paling kritis selama tahun-tahun perkembangan mereka ketika masih masa kanak-kanak dan remaja. Sering muncul kontroversi tentang mana yang paling dominan bagi perkembangan kepribadian, apakah pengaruh kelompok sebaya atau pengaruh orang tua, terutama pada masa remaja.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang tua terus memiliki pengaruh signifikan, bahkan selama masa remaja, penemuan meyakinkan bagi banyak orang tua. Tampak bahwa kekuatan kelompok sebaya menjadi lebih penting ketika hubungan keluarga tidak dekat atau kurang mendukung. Misalnya, jika orang tua bekerja ekstra keras atau bekerja di luar pekerjaan utama dan sebagian besar hubungan tidak tersedia, seorang anak bisa berpaling pada kelompok teman sebaya mereka untuk dukungan emosional. Hal ini juga terjadi ketika konflik antara orang tua dan anak pada usia remaja atau setiap saat selama perkembangan anak, menjadi begitu hebat, sehingga anak merasa menjauh dan mencari kedekatan dengan orang lain atau teman sebaya di tempat lain.
Faktor lingkungan yang menghambat perkembangan anak
1.      Perceraian
Di Indonesia, banyak anak-anak yang hidup di bawah tekanan akibat perceraian orang tua mereka. Perceraian atau terpecahnya unit keluarga sangat dekat dengan peningkatan derajat sters pada anak. Pada gilirannya mereka akan merasa depresi, rasa bersalah, marah, mudah tersinggung, pemberontak, atau cemas. Hal ini tidak hanya berdampak pada pola pergaulan anak di sekolah dan di masyarakat, melainkan juga pada perilaku belajarnya. Meski demikian, tidak berarti bahwa anak yang berasal dari keluarga yang bercerai tidak mampu tampil secara kompetitif, baik secara akademik maupun nonakademik.
Anak-anak dari keluarga yang mengalami perceraian umumnya sangat menderita. Mereka dihadapkan dengan banyaknya kemungkinan penyebab stres, seperti perubahan dalam hubungan mereka dengan orang tua, ketiadaan salah satu dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari, kemungkinan menikah lagi dan kehadiran orang tua tiri, atau patah semangat (stepsiblings). Anak-anak yang tidak puas dengan satu atau kedua orang tua mereka dan/atau kondisi kehidupan mereka sebelum percraian cenderung mengalami kesulitan menyesuaikan setelah perceraian.
2.      Tekanan Teman Sebaya
Banyak ahli psikologi perkembangan atau pengamat perkembangan anak mempertimbangkan tekanan teman sepermainan (peer pressure) membawa konsekuensi negatif dan hubungan persahabatan secara sekaligus dari rekan mereka. Anak yang paling rentan terhadap tekanan teman biasanya memiliki harga diri yang rendah. Seorang anak mengadopsi norma-norma kelompok itu sebagai miliknya dalam upaya untuk meningkatkan harga diri. Bisa saja anak tidak mampu menolak pengaruh rekan-rekan mereka, terutama dalam situasi ambiggu atau membingungkan.

3.      Kekerasan Fisik
Kebanyakan ahli psikologi modern percaya bahwa kekerasan fisik pada anak sangat berbahaya bagi perkembangan emosionalnya. Kondisi yang buruk ini dapat memperburuk penampilan seorang anak di sekolah, baik secara akademik, ekstrakurikuler, maupun dalam pergaulan sosial mereka dengan teman sebaya. Orang dewasa yang melakukan kekerasan secara fisik dan emosional kepada anak-anak akan membuat mereka menderita karena perasaan kecemasan yang mendalam, rasa malu, rasa bersalah, dan rasa dikhianati. Jika pengalaman pahit itu terjadi, terutama trauma dan suasana emosional yang menyakitkan dalam takaran frekuensial yang sangat sering, anak-anak sebagai korbang akan tertekan dan melahirkan rasa dendam yang mendalam, bahkan depresi setelah menjadi orang dewasa.
Para peneliti juga mencatat berbagai disfungsi emosional dalam waktu lama segera setelah kekerasan fisik itu terjadi. Masalah emosional yang ditunjukkan sebagai serangan kecemasan antara lain kecenderungan tindakan bunuh diri, ledakan amarah, penarikan diri, takut, dan depresi.[22]  


[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2010) hlm. 41
[2] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2014) hlm. 36
[3] Muhibbin Syah., Op. Cit. Hlm 41
[4] Sofyan S. Psikologi Pendidikan, (Bandung : Alfabeta CV. 2012) hlm. 23-24
[5] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2014) hlm. 43-44
[6] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010) hlm. 84-85
[7] Muhibbin Syah, Op. Cit. Hlm 46
[8] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2014) hlm. 37
[9] Ibid. hlm. 45
[10] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 40
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2010) hlm. 44-45
[12] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 39
[13] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta. 2008) hlm. 57
[14] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 55-57
[15] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2010) hlm. 73
[16] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 27                  
[17] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 26
[18] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2010) hlm. 55

[19] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 145-146
[20] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2010) hlm. 75
[21] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : Alfabeta CV. 2010) hlm. 58
[22] Ibid,. hlm. 68-71

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Nasikh dan Mansukh

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Bali 2018