Sejarah perkembangan Hadits pada masa Rasulullah, sahabat dan Tabi'in

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam memiliki sumber yang digunakan sebagai landasan bagi umatnya untuk melaksanakan berbagai syari’at islam dan menjauhi  segala larangan yang tertera pada landasannya. Sumber primer Islam yakni Al-Qur’an dan Hadis. Dalam perkembangannya, Al-Qur’an sudah dibukukan sehingga cenderung sulit untuk dipalsukan. Sementara, hadis yang bermakna khabar ini yang bermakna riwayat atau okhbar (mengabarkan) tidak ada perlakuan khusus untuk membukukannya.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi sasaran perhatian para sahabat. Para sahabat menerima hadits (syri’ah) dari Rasulullah SAW, adakalanya secara langsung ataupun mereka menyuruh bertanya kepada Nabi jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Para sahabat kebingungan untuk mengumpulkan hadits dari Rasulullah SAW. Hanya Al-Qur’an yang dijadikan informasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pada kala itu. Terlebih lagi terdapat larangan menulis hadits yang menurut sebagian Ulama larangan menulis hadits tetentu ditujukan terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Qur’an.
Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membuat beberapa rumusan masalah, di antaranya:
1. Bagaimana Sejarah dan perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW.?
2. Bagaimana Sejarah dan perkembangan hadis pada masa Sahabat?
3. Bagaimana Sejarah dan perkembangan hadis pada masa Tabi’in?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW.
2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadis pada masa sahabat.
3. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadis pada masa tabi’in.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Dan Perkembangan Hadis Pada Masa Rasulullah SAW.
Para sahabat menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an serta orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapatkan kebahagiaan.
Keadaan tersebut sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran Islam dalam menerima kedua sumber ajaran di atas, karena pada tangan mereka kedua-duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris berikutnya secara berkesinambungan.
Rasulullah SAW. Juga sering menyampaikan doa-doanya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya serta mendapat imbalan dari pada-Nya (H.R. ahmad dari Ibn Mas’ud). Dalam beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selalu menyampaikan hadis kepada orang lain. Selain itu, Rasulullah juga menyatakan ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang mujahid fi sabilillah (pejuan Allah).
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan hadis, yaitu:
1. Melalui majlis al-‘ilmi
Yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Menurut usthafa al-Siba’i, roh ilmiah sahabat sangat tinggi, mereka sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi. Mereka selalu meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu Rasulullah. Di antar mereka juga ada yang secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi. Tidak jarang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majelis Nabi, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sana.
2. Melalui sahabat tertentu
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW. juga menyampaikan hadisnya melalui sahabat tertentu, kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikan kepada orang lain. Hal ini karena terkadang, secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan suami istri, beliau sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika yang berkaitan dengan persoalan tersebut, juga melalui istri-istrinya.
3. Melalui ceramah di tempat terbuka
Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Makkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial dan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah itu antara lain; larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya; perintah mempermalukan para istri dengan baik, persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; dan umat Islam harus selalu berpegang kepeda al-Qu’an dan sunnah Nabi.
4. Melalui perbuatan secara langsung
Perbuatan secara langsung yang disaksikan langsung oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Pada masa ini, umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW. sebagai sumber hadis. Antara Rasul dengan mereka tidak ada jarak yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Tempat yang digunakan untuk mendapatkan pengajaran dari Rasulullah SAW. juga tidak tempat-tempat tertentu saja, melainkan tempat-tempat yang efektif biasa digunakan, seperti masjid, rumah kediaman beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika berada di rumah (muqim). Dengan demikian segala persoalan yang muncul dan kekeliruan yang terjadi pada masyarakat dapat segera diselesaikan, baik denagn turunnya wahyu maupun dengan penjelasan Rasulullah SAW. sendiri.
Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah ingatan mereka. Dan pada suatu kesempatan, Nabi pernah melarang menulis hadis dikarenakan khawatir hadis tercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, ada sahabat Nabi yang diberi izin untuk menulis hadis, tetapi secara umum Nabi melarang umat Islam untuk menulisnya. Beliau bersabda:
اكتب فوالدى نفسى بيده ما خرج عنى الا حق
“Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar”.
Ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis dari Nabi SAW. dan diakui dan dibenarkan oleh Rasulullah sehingga diberi nama Ash-Shahifah As-Shadiqah, di antaranya: ‘Abdullah ibn ‘Amr Ibn al-‘Ash (al-Shadiqah), Ali ibn Abi Thalib, Sumrah ibn Jundad, ‘Abdullah ibn’Abbas, Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (Shahifah Jabir), Abu Hurairah ad-Dausi (Ash-Shahifah) dan ‘Abdullah ibn Abi Afwa’.

B. Sejarah Dan Perkembangan Hadis Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai dengan 40 H.
Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H ini, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW. berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis sertan mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesatsetelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunahku (al-hadis)”. (HR. Malik)
Pesan-pesan Rasul SAW. Sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW. Dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.
2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushab Usmani. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Qur’an  tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW. secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Qur’an yang terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Mereka khawatir akan terjadinya periwayatan hadis yang tidakdapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan keasliannya.  Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin dan sahabat lainnya berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dala suatu kitab seperti halnya al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai Pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.
3. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW). Dan kedua, jalan periwayatan maknawi ( maknanya saja).
a. Periwayatan Lafzi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang di wurudkan Rasul SAW. ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hapal benar apa yang di sabda kan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW. bukan menurut redaksi mereka. Sebagian ddari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar ibn KHattab pernah berkata: “barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar orang itu selamat”.
b. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW., boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW., akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW. tanpa ada perubahan sedikitpun. Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-kitab ini juga diberlakukan terhadap Sunnah.

C. Sejarah dan Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para Tabi’in juga cukup berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf dan pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidin (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) dan masa khalifah Ali bin Abi Thalib para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Hal ini memudahkan para sahabat ahli hadis untuk mengembangkan dan mempelajari hadis-hadis dari mereka.
Menurut riwayat Al-Bukhary, Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam melakukan perlawatan sebulan lamanya untuk menanyakan sebuah hadits yang belum pernah didengarnya kepada seorang shahaby yang tinggal di Syam, yaitu Abdullah ibn Unais al-Anshary.
Kemudian Abu Ayyub al-Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah ibn Amr untuk menanyakan sebuah hadits kepadanya. Hadits yang dimaksudkan oleh Abu Ayyub itu ialah sabda Nabi saw.
“Barangsiapa menutupi seseorang Muslim di dalam dunia terhadap kesukaran yang menimpa Muslim itu, niscaya Allah menutupinya di hari kiamat.”
Ketika masa pemerintahan Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam meliputi Makkah, Madinah, Basrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol.  Pesatnya perkembangan wilayah kekuasaan Islam tersebut, dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyar al-riwayah) yaitu masa di mana hadis tidak lagi hanya berpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, namun banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1. Madinah, dengantokohdarikalangansahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Tokohdarikalangantabi’in :Sa’idibnMusayyib, ‘Umar ibnZubair, Nafi’ Maulaibn ‘Umar, dll.
2. Makkah, dengantokohhaditsdarikalangansahabat :Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibnSa’id, dll. Dari kalangantabi’in, tokohnyaantaralain :MujahidibnJabr, ‘IkramahMawlaibn ‘Abbas, ‘AthaibnAbiRabah, dll.
3. Kufah, dengantokohdarikalangansahabat : ‘Abdullah ibnMas’ud, Sa’idibnAbiWaqqas, dan Salman al-Farisi. Tokohdarikalangantabi’in :Masruqibn al-Ajda’, Syuraikhibn al-Haris, dll.
4. Syam, dengantokohdarikalangansahabat :Mu’adzibnJabal, Abu al-Darda’, ‘UbadahibnShamit, dll. Tokohdarikalangantabi’in : Abu Idris, QabishahibnZuaib, danMakhulibnAbi Muslim.
5. Mesir, dengantokohdarikalangansahabat : ‘Abdullah ibnAmr al-Ash, ‘Uqbahibn Amir, dll. Tokohdarikalangantabi’in :YazidibnAbiHubaib, Abu Bashrah al-Ghifari, dll.
6. Yaman, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Kedua orang sahabat ini telah dikirim ke daerah ini sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Para tabiin yang muncul di sini, di antaranya ialah Hamam bin Munabbih, Wahab bin Munabbih, Thawus, dan Ma’mar bin Rasyid.
7. Khurasan, dengan tokoh dari kalangan sahabat, di antaranya ialah Buraidah bin Husain al-Aslami, al-Hakam bin Amir al-Gifari, Abdullah bin Qasim bin al-Abbas. Sedangkan di antara para tabiinnya ialah Muhammad bin Ziyad Muhammad bin Tsabit al-Anshari dan Yahya bin Shabih al-Mugri.
Hadis yang diterima oleh para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada yang harus dihafal disamping dalam bentuk yang sudah berpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling  melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada masa tabi’in, cikal bakal ilmu hadis menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri dengan ditetapkannya dasar-dasar ilmu ini oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H) dalam kapasitasnya sebagai ahli dan penghimpun hadis pada masa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (99-101 H). Pembahasan tentang keadaan para periwayat hadis juga dilakukan oleh Sa’id ibn al-Musayyib (94 H), al-Sya’bi (w. 104 H), dan Muhammad ibn Sirim (w. 110 H).
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ialah muncul orang-orang yang membuat hadis palsu. Hal itu terjadi setelah Ali wafat. Tahun 40 H merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas hadis dari pemalsuan, dengan mulai munculnya pemalsuan hadis. Sejak timbul fitnah diakhir masa Utsman, umat Islam pecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan Ali bin Abi Thalib (Syi’ah). Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Muawiyah. Ketiga, golongan Jumhur (Golongan pro pemerintah pada masa saat itu).
Yang awalnya melakukan pekerjaan saat ini ialah golongan Syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya Syarh Nahju al-Balaghah.Maka kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu (maudhu’) ialah Baghdad (Iraq) tempat kaum Syi’ah berpusat.
Mulai saat itu terdapatlah di antara riwayat-riwayat itu ada yang shahih dan ada yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-mula mereka memalsukan hadis mengenai pribadi-pribadi orang yang mereka agung-agungkan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
Para sahabat menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an serta orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapatkan kebahagiaan. Rasulullah SAW. Juga sering menyampaikan doa-doanya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya serta mendapat imbalan dari pada-Nya (H.R. ahmad dari Ibn Mas’ud). beberapa cara yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan hadis, yaitu: Melalui majlis al-‘ilmi (pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah), melalui sahabat tertentu, melalui ceramah di tempat terbuka, dan melalui perbuatan secara langsung.
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai dengan 40 H. perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu. Para sahabat menjaga pesan Rasul SAW, berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadis, meriwayatkan hadis dengan lafaz dan makna, pertama dengan jalan periwayatan lafzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW). Dan kedua, jalan periwayatan maknawi ( maknanya saja).
Sebagaimana para sahabat, para Tabi’in juga cukup berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Pada masa Tabi’in dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyar al-riwayah) yaitu masa di mana hadis tidak lagi hanya berpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya. Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ialah muncul orang-orang yang membuat hadis palsu. Hal itu terjadi setelah Ali wafat. Tahun 40 H merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas hadis dari pemalsuan, dengan mulai munculnya pemalsuan hadis.












Komentar

  1. kurang rapi mas/mba. lain kali buatnya yang rapi, biar orang-orang yg liat blog ini pun antusias. tetima kasih..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Nasikh dan Mansukh

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Gerak Lurus