Sumber-sumber Hukum Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqh berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Dalam perkembangannya fiqih diartikan dengan sekumpulan hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad.
Ilmu fiqih digunakan sebagai pedoman syariah bagi umat muslim untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan seharu-hari. Ilmu fiqih memiliki sumber-sumber hukum yang sama dengan ushul al-hukm (al-Adillah atau dalil-dalil hukum). Sumber-sumber hukum islam ditetapkan oleh Allah SWT., lalu Rasulullah menyampaikan hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapkan hukum, maka sumber hukum yang pertama dan palling utama adalah wahyu Allah yaitu al-Qur’an al-Karim.
Kemudian disusul dengan sumber yang kedua yaitu as-Sunnah, yang ketiga yaitu Ijtihad. Namun, Sesudah Rasulullah SAW wafat, barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat Islam dalam bidang ushul dan dalam bidang furu’ akan tetapi masih terbatas.
Hal ini terjadi di masa pemerintahan Umar Bin Khattab, daerah wilayah daulah Islam yang semakin bertambah luas. Hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti, sehingga kian lama fiqh memiliki beberapa pandangan dari beberapa mazhab.
Maka dari itu, diperlukan pemahaman secara mendalam untuk mengkaji ilmu fiqh secara mendalam supaya tidak menimbulkan berbagai kesalahpahaman bagi umat muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sumber-sumber hukum Fiqh?
2. Bagaimana faedah ilmu Fiqh?
3. Apa saja masalah-masalah Fiqh?
4. Bagaimana perbandingan Fiqh terhadap ilmu-ilmu yang lain?
5. Bagimana Fiqh menurut pendapat mazhab?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Fiqh
2. Untuk mengetahui faedah ilmu Fiqh
3. Untuk mengetahui masalah-masalah Fiqh
4. Untuk mengetahui perbandingan Fiqh terhadap ilmu-ilmu yang lain
5. Untuk mengetahui Fiqh dilihat dari berbagai pendapat Mazhab.













BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Hukum Fiqh
Ilmu Fiqh secara definitif fiqh yaitu:
العلم با لأ حكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum-hukum, syariah yang bersifat amaliyah yang digali dari sumber-sumber yang terperinci”
Ilmu fiqh memiliki sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Adapun seumber lainnya, yaitu ijm’a, qiyas istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, istishab, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak menggunakannya.
Berikut urutan sumber hukum fiqh:
1. Al-Qur’anul Karim
Al-Qur’an al-Karim adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, hal yang disajikan di sini adalah sejauh yang menyangkut hukum dalam Al-Qur’an.
Para ahli ilmu kalam (mutakallimin) mengemukakan definisi Al-Qur’an yaitu
إنها الصفة القديمة المتعلقة بالكلمات الحكمية من اول الفاتحة إلى سورة الناس
“Al-Qur’an itu adalah sifat yang qadim yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang hikamiyah (penuh hikmah) yang tersusun dari awal surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas”
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an ada tiga macam yaitu:
a. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada hari akhir.
b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
c. Hukum-hukum ‘Amaliah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum-hukum amaliah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam arti luas.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu fiqh.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al Syakhshiyah disebut lebih terperinci dibanding dengan bidang-bidang hukum lainnya.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum sudah tentu sangat besar sekali manfaatnya. Karena dengan pengaturan yang bersifat umum itu Al-Qur’an bisa diterapkan dalam berbagai macam masyarakat dan terhadap berbagai macam kasus sepanjang zaman. Jadi, hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya fleksibelitas yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam perubahan masyarakat.
Kebijaksanaan Al-Qur’an dalam menetapkan hukum menggunakan prinsip-prinsip:
a. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan
Pelaksanaan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an di antaranya dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 185.
يريدالله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر
Artinya:....Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki kesulitan...
Contoh prinsip pertama ini antara lain, hukum kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, hukum shalat boleh dilakukan sesuai dengan kemampuan dan hukum boleh memakan sesuatu yang diharamkan pada saat yang sangat mendesak.
b. Menyedikitkan tuntutan
Prinsip ini mengandung arti, bahwa dalam melakukan perintah Allah itu harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.
c. Bertahap dalam menerapkan hukum
Al-Qur’an sangat memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Sehingga memberikan kelonggaran bagi umat muslim. Contoh dari hukum ini adalah keharaman hukum khamar, dilakukan secara bertahap. Pertama Nabi ditanya tentang khamar. Maka melalui wahyu, Nabi menjawab “Dalam khamar itu terdapat unsur kerusakan dan manfaat. Akan tetapi kerusakan (dosanya) lebih besar dibanding dengan manfaatnya” (QS. Al-Baqarah/2:219)

۞ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Memberikan kemudahan ini sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah menghendaki kemudahan  bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (al-Baqarah:185)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“.....Allah tidak mentaktif (membebani) manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya”. (al-Thalaq: 7)
Ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6342 ayat, hanya sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum, bahkan ada ulama yang menyatakan kurang dari 500 ayat.
2. Al-Sunnah
Sunah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepakati) setelah al-Qur’an. Menurut fuqaha sunah mengandung dua pengertian, pertama ibadah yang bukan wajib (nafal) dan kedua lawan dar bid’ah.
Sunnah yang dimaksud disini adalah berupa perbuatan, perkataan, atau diamnya Nabi SAW yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada sunah fi’liyah, sunnah qauliyah, dan sunnah taqririyah. Sunah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata nabi tahu akan hal tersebut tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
Para ulama sepakat bahwa sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum. Di antara bukti kehujjahan sunnah, adalah firman Allah SWT., yang menjelaskan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. Pada adalah wahyu dari Allah Swt., dan banyak ayat yang memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati dan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.  Salah satu ayat itu adalah.

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An-Nisa:80)

Dalam kedudukannya sebagai penjelas Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut.
a. Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal mengkhususkan yang umum. Seperti cara-cara shalat disebutkan dalam Sunnah, beberapa barang yang wajib di zakati, dan membatasi wasiat maksimal sepertiga harta.
b. Hukumnya sudah disebut dalam Al-Qur’an kemudian Al-Sunnah menguatkan dan menambahkannya.
c. Al-Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memadu seorang wanita dengan bibinya, haramnya memakan binatang yang bertaring.
Hukum-hukum yang disebut dalam Al-Sunnah, prinsip-prinsip umumnya dan dasar pokoknya terdapat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi ta’arudl  (bertentangan) antara hukum-hukum dalam Al-Sunnah dengan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.
3. Al-Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan Ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari;ah. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya.
4. Ijma’
Secara etimologis, Ijma atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan ebrbuat sesuatu. Ijma adalah kesepakatan dan yang sepakat di sini  adalah semua mujtahid Muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
Syarat Ijma’ adalah sebagai berikut.
a. Tetap melalui jalan shahih yaitu dengan kemasyhurannya di kalangan ulama, dan yang meriwayatkannya orang yang terpecaya serta luas ilmunya.
b. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu, maka bukanlah ijma, karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.
Ditinjau dari segi dalil hukumnya maka ijma’ dibagi menjadi :
a. Ijma’ Qath’i yaitu ijma; yang diketaui keberadaannya dikalangan umat ini dengan pasti, seperti Ijma; atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina.
b. Ijma’ Zhanni yaitu Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ dan istikhra’).
Ditinjau dari susdut cara menghasilkan hukum, maka ijma’ dibagi menjadi 2 macam:
a. Ijma’ Sharih (tegas) yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya terhadap kesimpulan itu
b. Ijma’ Sukuti yaitu bahwa sebagian ulama’ mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangka ulama’ yang lainnya hanya diam tanpa komentar.
5. Al-Qiyas
Adalah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat hukumnya. Unsur-unsur Qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum asal, dan illat hukum.
6. Al-Istihsan
Istihsan adalah perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dallil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan syari’ah Islam.
7. Al Mashlahah Al Mursalah
Para ahli Ushul memberikan takrif al-mashlahah al-mursalah dengan memberikan hukum syara kepada sesuatu kasus yang tidak terdapat dalam nash dan Ijma atas dasar memelihara kemaslahatan. Contohnya, seperti melayani dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.
8. Al-‘Urf (Al-‘Adah)
‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.  ‘Urf yang bisa diterima oleh hukum Islam, yaitu tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-Qur’an atau sunnah, pemakaiaannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan, serta telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
9. Al-Istishhab
Asyaukani menta’rifkan Istishhab dengan “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya.” Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut.
10. Syari’at Ummat Sebelum kita (Syar’un man Qablana)
Syariat samawi pada asalnya adalah satu, sesuai dengan firman Allah pada surat Asy-Syura: 13. Oleh karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku,seperti. Qishash.
11. Madzhab Shahabi  (Pendapat Shahabat)
Ada beberapa dalil yang tidak disepakati oleh ulama’ tentang nilainya sebagai hujah, di antaranya pendapat sahabat. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad iyah.
12. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah
Saat al-Dzari’ah banyak disebut dalam kitab-kitab malikiyah dan hanabillah walaupun pemikiran secara praktis kita dapatkan pula dalam fiqih hanafi dan syafi’ih. Yang dimaksud dengan Dzari’ah di sini adalah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Dengan demikian yang dilihat dalam Dzari’ah ini adalah perbuatan-perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram.

B. Faedah Ilmu Fiqh
Kaidah-kaidah fiqh (Qawa’id al-Fiqh) ini adalah sangat penting di dalam ilmu fiqh. Faedah Ilmu Fiqh antara lain:
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah  fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab dengan kaida-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya.
2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berlainan.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah. Dilihat dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Dengan demikian, menggunakan kaidah fiqh haruslah sangat hati-hati dan teliti.

C. Masalah-masalah Fiqh
Seiring dengan perkembangan sekarang ini, berbagai permasalahan fiqh terjadi di kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan landasan dalam menentukan permasalahan-permasalahan masyarakat berdasarkan kaidah ilmu fiqh yang sesuai dengan hukum Islam.
Berbagai permasalahan ilmu fiiqh antara lain :
1. Aqiqah dan memberi nama anak
2. Takaran dan kewajiban zakat
3.  Aqiqah plus qurban
4.  Menghitung darah istihadhoh
5. Menggulung tangan, bersedeku saat i’tidal, dan lain-lain
Permasalahan tersebut memerlukan ilmu fiqh untuk menyelesaikannya supaya tidak memberikan kebingungan pada kehidupan umat muslim.

D. Perbandingan Fiqh Terhadap Ilmu-Ilmu yang lain
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, dibanding dengan ilmu-ilmu yang lainnya antara lain:

1.   Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
Keistimewaan fiqh islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa fiqh islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.  Maka setiap mujtahid dalam melakukan istimbath (deduksi/peng¬gali¬an) hukum-hukum syara’ selalu merujuk dan mendaratkan pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari’at, tujuan-tujuannya secara umum, kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip umum.   Dengan begitu, maka pertumbuhan fiqh islam menjadi sempurna, bangunan epistemo¬logi¬¬¬-nya jelas dan tiang-tiang penyangganya kuat, karena prinsip dasarnya kuat dan sem¬purna (yaitu wahyu).  Allah SWT berfirman:

“...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu.....” (QS. Al-Maidah [5]:3).
Setelah itu, tidak ada yang lain kecuali tinggal menerapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).

2. Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek    Kebutuhan Hidup.
Fiqih biasanya berkutat dalam persoalan aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.  Karena tujuannya adalah agar manusia menyadari dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam masalah yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.  Di samping itu, juga agar manusia mau menghormati hak-hak orang lain, sehingga mereka benar-benar merasa tenang dan bahagia, baik dalam kehidu¬p¬an yang bersifat khusus maupun umum.

3.  Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
Salah satu perbedaan antara fiqih islam dengan undang-undang hukum positif adalah bahwa dalam fiqih Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan muamalah, tidak hanya persoalan-persoalan yang bersifat duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi.
Hukum duniawi ini titik tekannya adalah hal-hal yang bersifat zahir atau eksoteris (hal-hal yang tampak) dan tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat esoteris (tidak tampak).  Itulah yang disebut keputusan hukum (al-hukmu al-qada’i) dari seorang hakim.  Seorang hakim hanya dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti zahir dan formal.  Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat menjadikan hal yang batal (salah) menjadi benar, atau sebaliknya yang benar menjadi salah; menjadikan yang halal menjadi haram, atau yang haram menjadi halal dalam kenyataannya.  Putusan hakim itu harus diberlakukan, hal ini berbeda dengan fatwa, yang tidak harus diberlakukan.
Sedang hukum akhirat ini didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi seorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal ini adalah Allah SWT.  Putusan ini diberlaku¬kan oleh Allah langsung untuk hamba-hambanya.
Salah satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya aku hanya¬lah manusia dan sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku. Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung meng¬un¬tungkan kalian sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar.  Maka barang siapa yang aku putuskan hukum untuknya, dengan merugi¬kan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau meninggalkannya.”
Salah satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat.  Syariat itu adalah sistem undang-undang yang bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah(badan).  Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai), sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan hal itu, maka tugas seorang qadi (hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti (ahli fatwa).  Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya (orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi) akan memu¬tus¬¬kan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib membayarnya.
Hal itu berbeda dengan putusan fatwa.  Menurut keputusan fatwa, maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah ada ibra’(pembebasan hutang) meski yang berhutang tidak tahu.
4.   Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya. Undang-undang positif buatan manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat, meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip agama dan moral.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Tasyri’ ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan mem¬bersih¬kan jiwa, serta menjauhkan  dari hal-hal munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong menolong (ruh ta’awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta membatalkan akad, sebab ketidaktahu¬an (al-jahalah) atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimak¬sud¬kan untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan meng¬hindar¬kan pertentangan diantara manusia.  Disamping itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain.  Demikian halnya dengan perintah untuk melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji, diharamkannya minuman keras (khamr) yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur baik dan benar.
5.   Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
Fiqih islam berbeda dari undang-undang konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad’iyyi) yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta’zir yang tidak ditentukan terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia, yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para penegak hukum.
6.    Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang bersifat umum.
 Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya.  Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : “ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار[24]” (Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah yang berbunyi: الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف[25] “menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko yang lebih kecil dari keduanya.”

E. Fiqh berbagai Pendapat Mazhab
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Terdiri dari 4 madzhab, di antaranya:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
1. Al Mabsut
2. Al Jami’ul Kabir
3. Al Jami’ush Shaghir
4. As Siyarul Kabir
5. As Siyarush Shaghir
6. Az Zidayat
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.).
Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.

2. Mazhab Maliki
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki).
 Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

3. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. Nash al-Qur’an atau nash al-hadits
2. Fatwa Shahabi, apabila tidak memperoleh nash
3. Pendapat sebagian sahabat
4. Hadis mursal atau hadis dla’if, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat sesorang sahabat
5. Qiyas
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.



4. Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Kedua corak pemikiran hukum ini, berlangsung dan berkembang semakin intens serta melahirkan sebagai perbedaan dalam bidang-bidang hukum yang seolah-olah sulit dipertemukan, karena masing-masing berpijak pada sistem dan teori yang mreke kembangkan. Kelompok pertama, yaitu ahlu al-ra’yi, diwakili oleh mazhab Hanafi di Kufah-Irak yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, sedangkan kelompok kedua diwakili oleh mazhab Maliki di Madinah yang dibangun oleh Imam Malik.
Adapun prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.
5. Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
a. Mazhab al-Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus).
Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm, asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
b. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
c. Mazhab al-Lais bin Sa’ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai.
 Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut.
Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).
d. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
e. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).



BAB III
PENUTUP

B. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Ilmu fiqh memiliki sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Adapun seumber lainnya, yaitu ijm’a, qiyas istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, istishab, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak menggunakannya.
Kaidah-kaidah fiqh (Qawa’id al-Fiqh) ini adalah sangat penting di dalam ilmu fiqh. Faedah Ilmu Fiqh antara lain:
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah  fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab dengan kaida-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya.
2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berlainan.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah. Dilihat dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Berbagai permasalahan ilmu fiiqh antara lain :
1. Aqiqah dan memberi nama anak
2. Takaran dan kewajiban zakat
3. Aqiqah plus qurban
4. Menghitung darah istihadhoh
5. Menggulung tangan, bersedeku saat i’tidal, dan lain-lain
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, dibanding dengan ilmu-ilmu yang lainnya antara lain:
1. Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
2. Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek    Kebutuhan Hidup.
3. Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
4. Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
5. Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
6. Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Terdiri dari 4 madzhab, di antaranya:
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki
3. Mazhab Hanbali
4. Mazhab Syafi’i
5. Mazhab fiqh yang Punah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza’i
2. Mazhab as-Sauri
3. Mazhab al-Lais bin Sa’ad
4. Mazhab ath-Thabari
5. Mazhab az-Zahiri



C. Saran
Demikianlah penyusunan makalah ini, kami sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa isi makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat kami Harapkan untuk proses penyusunan makalah selanjutnya yang lebih baik.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqh berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Dalam perkembangannya fiqih diartikan dengan sekumpulan hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad.
Ilmu fiqih digunakan sebagai pedoman syariah bagi umat muslim untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan seharu-hari. Ilmu fiqih memiliki sumber-sumber hukum yang sama dengan ushul al-hukm (al-Adillah atau dalil-dalil hukum). Sumber-sumber hukum islam ditetapkan oleh Allah SWT., lalu Rasulullah menyampaikan hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapkan hukum, maka sumber hukum yang pertama dan palling utama adalah wahyu Allah yaitu al-Qur’an al-Karim.
Kemudian disusul dengan sumber yang kedua yaitu as-Sunnah, yang ketiga yaitu Ijtihad. Namun, Sesudah Rasulullah SAW wafat, barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat Islam dalam bidang ushul dan dalam bidang furu’ akan tetapi masih terbatas.
Hal ini terjadi di masa pemerintahan Umar Bin Khattab, daerah wilayah daulah Islam yang semakin bertambah luas. Hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti, sehingga kian lama fiqh memiliki beberapa pandangan dari beberapa mazhab.
Maka dari itu, diperlukan pemahaman secara mendalam untuk mengkaji ilmu fiqh secara mendalam supaya tidak menimbulkan berbagai kesalahpahaman bagi umat muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sumber-sumber hukum Fiqh?
2. Bagaimana faedah ilmu Fiqh?
3. Apa saja masalah-masalah Fiqh?
4. Bagaimana perbandingan Fiqh terhadap ilmu-ilmu yang lain?
5. Bagimana Fiqh menurut pendapat mazhab?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Fiqh
2. Untuk mengetahui faedah ilmu Fiqh
3. Untuk mengetahui masalah-masalah Fiqh
4. Untuk mengetahui perbandingan Fiqh terhadap ilmu-ilmu yang lain
5. Untuk mengetahui Fiqh dilihat dari berbagai pendapat Mazhab.













BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Hukum Fiqh
Ilmu Fiqh secara definitif fiqh yaitu:
العلم با لأ حكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum-hukum, syariah yang bersifat amaliyah yang digali dari sumber-sumber yang terperinci”
Ilmu fiqh memiliki sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Adapun seumber lainnya, yaitu ijm’a, qiyas istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, istishab, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak menggunakannya.
Berikut urutan sumber hukum fiqh:
1. Al-Qur’anul Karim
Al-Qur’an al-Karim adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, hal yang disajikan di sini adalah sejauh yang menyangkut hukum dalam Al-Qur’an.
Para ahli ilmu kalam (mutakallimin) mengemukakan definisi Al-Qur’an yaitu
إنها الصفة القديمة المتعلقة بالكلمات الحكمية من اول الفاتحة إلى سورة الناس
“Al-Qur’an itu adalah sifat yang qadim yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang hikamiyah (penuh hikmah) yang tersusun dari awal surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas”
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an ada tiga macam yaitu:
a. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada hari akhir.
b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
c. Hukum-hukum ‘Amaliah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum-hukum amaliah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam arti luas.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu fiqh.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al Syakhshiyah disebut lebih terperinci dibanding dengan bidang-bidang hukum lainnya.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum sudah tentu sangat besar sekali manfaatnya. Karena dengan pengaturan yang bersifat umum itu Al-Qur’an bisa diterapkan dalam berbagai macam masyarakat dan terhadap berbagai macam kasus sepanjang zaman. Jadi, hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya fleksibelitas yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam perubahan masyarakat.
Kebijaksanaan Al-Qur’an dalam menetapkan hukum menggunakan prinsip-prinsip:
a. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan
Pelaksanaan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an di antaranya dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 185.
يريدالله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر
Artinya:....Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki kesulitan...
Contoh prinsip pertama ini antara lain, hukum kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, hukum shalat boleh dilakukan sesuai dengan kemampuan dan hukum boleh memakan sesuatu yang diharamkan pada saat yang sangat mendesak.
b. Menyedikitkan tuntutan
Prinsip ini mengandung arti, bahwa dalam melakukan perintah Allah itu harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.
c. Bertahap dalam menerapkan hukum
Al-Qur’an sangat memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Sehingga memberikan kelonggaran bagi umat muslim. Contoh dari hukum ini adalah keharaman hukum khamar, dilakukan secara bertahap. Pertama Nabi ditanya tentang khamar. Maka melalui wahyu, Nabi menjawab “Dalam khamar itu terdapat unsur kerusakan dan manfaat. Akan tetapi kerusakan (dosanya) lebih besar dibanding dengan manfaatnya” (QS. Al-Baqarah/2:219)

۞ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Memberikan kemudahan ini sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah menghendaki kemudahan  bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (al-Baqarah:185)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“.....Allah tidak mentaktif (membebani) manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya”. (al-Thalaq: 7)
Ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6342 ayat, hanya sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum, bahkan ada ulama yang menyatakan kurang dari 500 ayat.
2. Al-Sunnah
Sunah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepakati) setelah al-Qur’an. Menurut fuqaha sunah mengandung dua pengertian, pertama ibadah yang bukan wajib (nafal) dan kedua lawan dar bid’ah.
Sunnah yang dimaksud disini adalah berupa perbuatan, perkataan, atau diamnya Nabi SAW yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada sunah fi’liyah, sunnah qauliyah, dan sunnah taqririyah. Sunah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata nabi tahu akan hal tersebut tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
Para ulama sepakat bahwa sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum. Di antara bukti kehujjahan sunnah, adalah firman Allah SWT., yang menjelaskan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. Pada adalah wahyu dari Allah Swt., dan banyak ayat yang memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati dan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.  Salah satu ayat itu adalah.

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An-Nisa:80)

Dalam kedudukannya sebagai penjelas Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut.
a. Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal mengkhususkan yang umum. Seperti cara-cara shalat disebutkan dalam Sunnah, beberapa barang yang wajib di zakati, dan membatasi wasiat maksimal sepertiga harta.
b. Hukumnya sudah disebut dalam Al-Qur’an kemudian Al-Sunnah menguatkan dan menambahkannya.
c. Al-Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memadu seorang wanita dengan bibinya, haramnya memakan binatang yang bertaring.
Hukum-hukum yang disebut dalam Al-Sunnah, prinsip-prinsip umumnya dan dasar pokoknya terdapat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi ta’arudl  (bertentangan) antara hukum-hukum dalam Al-Sunnah dengan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.
3. Al-Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan Ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari;ah. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya.
4. Ijma’
Secara etimologis, Ijma atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan ebrbuat sesuatu. Ijma adalah kesepakatan dan yang sepakat di sini  adalah semua mujtahid Muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
Syarat Ijma’ adalah sebagai berikut.
a. Tetap melalui jalan shahih yaitu dengan kemasyhurannya di kalangan ulama, dan yang meriwayatkannya orang yang terpecaya serta luas ilmunya.
b. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu, maka bukanlah ijma, karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.
Ditinjau dari segi dalil hukumnya maka ijma’ dibagi menjadi :
a. Ijma’ Qath’i yaitu ijma; yang diketaui keberadaannya dikalangan umat ini dengan pasti, seperti Ijma; atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina.
b. Ijma’ Zhanni yaitu Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ dan istikhra’).
Ditinjau dari susdut cara menghasilkan hukum, maka ijma’ dibagi menjadi 2 macam:
a. Ijma’ Sharih (tegas) yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya terhadap kesimpulan itu
b. Ijma’ Sukuti yaitu bahwa sebagian ulama’ mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangka ulama’ yang lainnya hanya diam tanpa komentar.
5. Al-Qiyas
Adalah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat hukumnya. Unsur-unsur Qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum asal, dan illat hukum.
6. Al-Istihsan
Istihsan adalah perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dallil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan syari’ah Islam.
7. Al Mashlahah Al Mursalah
Para ahli Ushul memberikan takrif al-mashlahah al-mursalah dengan memberikan hukum syara kepada sesuatu kasus yang tidak terdapat dalam nash dan Ijma atas dasar memelihara kemaslahatan. Contohnya, seperti melayani dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.
8. Al-‘Urf (Al-‘Adah)
‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.  ‘Urf yang bisa diterima oleh hukum Islam, yaitu tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-Qur’an atau sunnah, pemakaiaannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan, serta telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
9. Al-Istishhab
Asyaukani menta’rifkan Istishhab dengan “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya.” Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut.
10. Syari’at Ummat Sebelum kita (Syar’un man Qablana)
Syariat samawi pada asalnya adalah satu, sesuai dengan firman Allah pada surat Asy-Syura: 13. Oleh karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku,seperti. Qishash.
11. Madzhab Shahabi  (Pendapat Shahabat)
Ada beberapa dalil yang tidak disepakati oleh ulama’ tentang nilainya sebagai hujah, di antaranya pendapat sahabat. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad iyah.
12. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah
Saat al-Dzari’ah banyak disebut dalam kitab-kitab malikiyah dan hanabillah walaupun pemikiran secara praktis kita dapatkan pula dalam fiqih hanafi dan syafi’ih. Yang dimaksud dengan Dzari’ah di sini adalah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Dengan demikian yang dilihat dalam Dzari’ah ini adalah perbuatan-perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram.

B. Faedah Ilmu Fiqh
Kaidah-kaidah fiqh (Qawa’id al-Fiqh) ini adalah sangat penting di dalam ilmu fiqh. Faedah Ilmu Fiqh antara lain:
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah  fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab dengan kaida-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya.
2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berlainan.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah. Dilihat dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Dengan demikian, menggunakan kaidah fiqh haruslah sangat hati-hati dan teliti.

C. Masalah-masalah Fiqh
Seiring dengan perkembangan sekarang ini, berbagai permasalahan fiqh terjadi di kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan landasan dalam menentukan permasalahan-permasalahan masyarakat berdasarkan kaidah ilmu fiqh yang sesuai dengan hukum Islam.
Berbagai permasalahan ilmu fiiqh antara lain :
1. Aqiqah dan memberi nama anak
2. Takaran dan kewajiban zakat
3.  Aqiqah plus qurban
4.  Menghitung darah istihadhoh
5. Menggulung tangan, bersedeku saat i’tidal, dan lain-lain
Permasalahan tersebut memerlukan ilmu fiqh untuk menyelesaikannya supaya tidak memberikan kebingungan pada kehidupan umat muslim.

D. Perbandingan Fiqh Terhadap Ilmu-Ilmu yang lain
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, dibanding dengan ilmu-ilmu yang lainnya antara lain:

1.   Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
Keistimewaan fiqh islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa fiqh islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.  Maka setiap mujtahid dalam melakukan istimbath (deduksi/peng¬gali¬an) hukum-hukum syara’ selalu merujuk dan mendaratkan pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari’at, tujuan-tujuannya secara umum, kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip umum.   Dengan begitu, maka pertumbuhan fiqh islam menjadi sempurna, bangunan epistemo¬logi¬¬¬-nya jelas dan tiang-tiang penyangganya kuat, karena prinsip dasarnya kuat dan sem¬purna (yaitu wahyu).  Allah SWT berfirman:

“...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu.....” (QS. Al-Maidah [5]:3).
Setelah itu, tidak ada yang lain kecuali tinggal menerapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).

2. Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek    Kebutuhan Hidup.
Fiqih biasanya berkutat dalam persoalan aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.  Karena tujuannya adalah agar manusia menyadari dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam masalah yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.  Di samping itu, juga agar manusia mau menghormati hak-hak orang lain, sehingga mereka benar-benar merasa tenang dan bahagia, baik dalam kehidu¬p¬an yang bersifat khusus maupun umum.

3.  Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
Salah satu perbedaan antara fiqih islam dengan undang-undang hukum positif adalah bahwa dalam fiqih Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan muamalah, tidak hanya persoalan-persoalan yang bersifat duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi.
Hukum duniawi ini titik tekannya adalah hal-hal yang bersifat zahir atau eksoteris (hal-hal yang tampak) dan tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat esoteris (tidak tampak).  Itulah yang disebut keputusan hukum (al-hukmu al-qada’i) dari seorang hakim.  Seorang hakim hanya dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti zahir dan formal.  Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat menjadikan hal yang batal (salah) menjadi benar, atau sebaliknya yang benar menjadi salah; menjadikan yang halal menjadi haram, atau yang haram menjadi halal dalam kenyataannya.  Putusan hakim itu harus diberlakukan, hal ini berbeda dengan fatwa, yang tidak harus diberlakukan.
Sedang hukum akhirat ini didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi seorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal ini adalah Allah SWT.  Putusan ini diberlaku¬kan oleh Allah langsung untuk hamba-hambanya.
Salah satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya aku hanya¬lah manusia dan sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku. Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung meng¬un¬tungkan kalian sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar.  Maka barang siapa yang aku putuskan hukum untuknya, dengan merugi¬kan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau meninggalkannya.”
Salah satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat.  Syariat itu adalah sistem undang-undang yang bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah(badan).  Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai), sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan hal itu, maka tugas seorang qadi (hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti (ahli fatwa).  Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya (orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi) akan memu¬tus¬¬kan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib membayarnya.
Hal itu berbeda dengan putusan fatwa.  Menurut keputusan fatwa, maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah ada ibra’(pembebasan hutang) meski yang berhutang tidak tahu.
4.   Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya. Undang-undang positif buatan manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat, meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip agama dan moral.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Tasyri’ ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan mem¬bersih¬kan jiwa, serta menjauhkan  dari hal-hal munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong menolong (ruh ta’awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta membatalkan akad, sebab ketidaktahu¬an (al-jahalah) atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimak¬sud¬kan untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan meng¬hindar¬kan pertentangan diantara manusia.  Disamping itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain.  Demikian halnya dengan perintah untuk melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji, diharamkannya minuman keras (khamr) yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur baik dan benar.
5.   Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
Fiqih islam berbeda dari undang-undang konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad’iyyi) yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta’zir yang tidak ditentukan terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia, yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para penegak hukum.
6.    Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang bersifat umum.
 Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya.  Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : “ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار[24]” (Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah yang berbunyi: الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف[25] “menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko yang lebih kecil dari keduanya.”

E. Fiqh berbagai Pendapat Mazhab
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Terdiri dari 4 madzhab, di antaranya:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
1. Al Mabsut
2. Al Jami’ul Kabir
3. Al Jami’ush Shaghir
4. As Siyarul Kabir
5. As Siyarush Shaghir
6. Az Zidayat
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.).
Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.

2. Mazhab Maliki
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki).
 Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

3. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. Nash al-Qur’an atau nash al-hadits
2. Fatwa Shahabi, apabila tidak memperoleh nash
3. Pendapat sebagian sahabat
4. Hadis mursal atau hadis dla’if, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat sesorang sahabat
5. Qiyas
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.



4. Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Kedua corak pemikiran hukum ini, berlangsung dan berkembang semakin intens serta melahirkan sebagai perbedaan dalam bidang-bidang hukum yang seolah-olah sulit dipertemukan, karena masing-masing berpijak pada sistem dan teori yang mreke kembangkan. Kelompok pertama, yaitu ahlu al-ra’yi, diwakili oleh mazhab Hanafi di Kufah-Irak yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, sedangkan kelompok kedua diwakili oleh mazhab Maliki di Madinah yang dibangun oleh Imam Malik.
Adapun prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.
5. Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
a. Mazhab al-Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus).
Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm, asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
b. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
c. Mazhab al-Lais bin Sa’ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai.
 Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut.
Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).
d. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
e. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).















BAB III
PENUTUP

B. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Ilmu fiqh memiliki sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Adapun seumber lainnya, yaitu ijm’a, qiyas istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, istishab, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak menggunakannya.
Kaidah-kaidah fiqh (Qawa’id al-Fiqh) ini adalah sangat penting di dalam ilmu fiqh. Faedah Ilmu Fiqh antara lain:
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah  fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab dengan kaida-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya.
2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukkannya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berlainan.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah. Dilihat dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Berbagai permasalahan ilmu fiiqh antara lain :
1. Aqiqah dan memberi nama anak
2. Takaran dan kewajiban zakat
3. Aqiqah plus qurban
4. Menghitung darah istihadhoh
5. Menggulung tangan, bersedeku saat i’tidal, dan lain-lain
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, dibanding dengan ilmu-ilmu yang lainnya antara lain:
1. Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
2. Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek    Kebutuhan Hidup.
3. Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
4. Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
5. Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
6. Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Terdiri dari 4 madzhab, di antaranya:
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki
3. Mazhab Hanbali
4. Mazhab Syafi’i
5. Mazhab fiqh yang Punah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza’i
2. Mazhab as-Sauri
3. Mazhab al-Lais bin Sa’ad
4. Mazhab ath-Thabari
5. Mazhab az-Zahiri



C. Saran
Demikianlah penyusunan makalah ini, kami sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa isi makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat kami Harapkan untuk proses penyusunan makalah selanjutnya yang lebih baik.












DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abd Adhim al-Zarqani,   Manahil Al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th.), jilid i,
Djazuli, Prof., Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999)
Mardani, Dr, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011)
Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Saudi Arabia: Daar al-Fikr al-Arabi)

Sapiudin Shidiq, Drs. M.A., Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011)
Langitan Net. Online, http://langitan.net/?p=137 Diakses pada 21 Maret 2017 Pukul 18.06 WIB



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Nasikh dan Mansukh

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Bali 2018