Dewa Ruci
Secara ringkas isi setiap versi Serat Dewaruci bercerita tentang
Sang Bima Sena, wakil dari lima bersaudara satria Pandawa yang merasa kecewa
karena belum memiliki Tirta Pawitradi yang dianggap sebagai lambang kesucian.
Agar keinginannya tersebut dapat terlaksana, yaitu memperoleh Tirta Pawitradi,
maka Sang Sena menemui Resi Durna untuk meminta petunjuk. Singkat cerita,
berkat ketaatan dan ketekunan Sang Sena mengindahkan wejangan Resi Durna
akhirnya ia bertemu dengan Sang Guru Sejati, Dewaruci. Dan dari pertemuan
tersebut, ia kemudian mendapatkan Tirta Pawitradi.
Sang
Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna,
untuk mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra
Mahening Suci. Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak,
seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas.
Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa,
tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah. Tiba-tiba dihadapannya,
muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat
Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan
menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan
Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi
mangsanya.
Namun
badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur.
Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta
rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga
untuk melepas himpitan naga. Berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju
leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka. Raung kesakitan yang
memekakan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan
raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan. Disekelilingnya, air
laut memerah oleh darah. Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya.
Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Cukup lama
jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba. Hingga saat tersadar, betapa
terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, menapak kembali kehidupan.
Pandangannya melihat bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah
lautan luas di dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari
oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat
rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh
datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang
ada. Cahaya diatas Cahaya. Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila
dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan
menghampirinya. “Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian
menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat
kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih
menyentuh bumi. Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak dinyana
aku sekarang tersangkut di pulai kecil yang begitu indah.
Tetumbuhan
berbuah bergelantungan diselimuti cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih
kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini” “Ayo
mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa
yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas
yang sedang berpesta melahap darah naga” “Werkudara, Kamu jangan gampang pergi
bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan
gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan
sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam
berbusana. Ibaratnya, pernah ada seorang dari gunung yang ingin membeli emas di
kota. Saat terjadi transaksi dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi
selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka
berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi
berdasarkan ilmunya.”
“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa
Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci” Seketika duduk bersimpuh Bima
dihadapan sosok suci nan kecil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa
karma” kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan
sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur. Kemudian
Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu
dengan Dewa Ruci ini. Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan
apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya :
Apakah
ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila
telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada
keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih
menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan
masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna
karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang
katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti
ada kekurangannya, ada cacatnya.
Apakah
“Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu
dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah
sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Tirta
: air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan
Pawitra
: bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga
harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan
tumbuhan.
Mahening
: dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin
Suci
: terhindar dari dosa
Jelasnya,
didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu
memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa
yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian. Namun petunjuk itu belum
mampu diperoleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun peyunjuk itu tlah
lama adanya. Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari
kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan “alam jati”. Dimanakah
Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui
cipta. Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci. “Duh Batara …
bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka. Badan
hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja
tidak akan mampu masuk ke badan paduka.” “Hai Werkudara, besar mana kamu dengan
jagad ? Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu
melalui telinga kiriku.” Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima
tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang
Dewa.
Dan
saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan
tentram belaka. “Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat
yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya
bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu
arah kiblat, mana utara selatan, mana barat timur. Pun tidak tahu apakah ini di
bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik,
dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba
rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini
Pukulun ?” “Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka Baka”,
alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata
namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana,
berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup”
“Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan” “Nyala satu cahaya
delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa.
Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya
matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya,
api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi
kehidupan alam” “Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus
manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar
manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang
samar. Namun hidup haruslah berlandaskan kepada “pramana” yang adalah atas
dorongan Sang Hyang Suksma” “Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna” “4 Cahaya
dari terjadi dari hawa 4 perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam
perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan
namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah,
hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian. Kalau tidak
mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya
putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam
kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan
sendirinya.
“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini
selamanya. Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui
berbagai derita sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan
hanyalah kedamaian dan ketentraman semata” “Werkudara, sikap yang begitu adalah
salah, tidak sesuai dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia
dalam menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya
diperlihatkan alam jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini.
Suatu saat nanti kamu pasti akan menikmati alam itu.” “Keluarlah segera kamu
dari gua garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas
pertamamu telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan
nglalu njebur samudra.” Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan
Dewa Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi
tugas kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini.
Diadopsi dari berbagai sumber
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^