Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islami pada hakikatnya tidak terlepas dari sejarah Islam. Oleh sebab itu, sejarah Islam pada era Rasulullah SAW sampai dengan era modernisasi/era digital ini terus berkembang dalam lingkup sederhana maupun luas. Pendidikan Islam terus mengalami berbagai perombakan.
Islam kini berada diposisi tidak aman. Ajaran Nabi Muhammad SAW ini, dulunya di kenal sebagai ajaran yang rahmatul lil alamin. Tetapi kini, para manusia tak bertanggung jawab menodainya dengan hal-hal yang justru memojokkan Islam. Sama halnya yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia, walau banyak yang beragama Islam. Akan tetapi, generasi mudanya yang notabene beragama Islam sering menyeleweng dari pendidikan agama Islam. Hal ini lah yang bisa menjadi tantangan paling urgensi dalam pendidikan agama Islam di Indonesia terutama pada masa modernisasi/era digital ini.
Oleh sebab itu, menulis berusaha untuk membahas tentang “Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia” ini supaya dapat dijadikan renungan untuk merubah diri menjadi lebih baik lagi, terutama di era digital ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pendidikan Islam?
2.      Apa pengertian pendidikan Islah menurut para ahli?
3.      Apa pengertian dari modernisasi/era digital?
4.      Bagaimana tantangan pendidikan Islam pada era digital yang terjadi di Indonesia?
5.      Bagaimana upaya-upaya untuk mengatasi tantangan tersebut?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian pendidikan Islam
2.      Mengetahui pengertian pendidikan Islam menurut para ahli
3.      Mengetahui pengertian dari modernisasi/era digital
4.      Mengetahui tantangan pendidikan Islam pada era digital di Indonesia
5.      Mengetahui upaya-upaya mengatasi tantangan tersebut























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam
1.      Pengertian Secara Etimologis
Kata “pendidikan” berasal dari kata “didik”. Dalam bahasa Inggris “to educate”, Dalam bahsa Arab yaitu “adaba, Yuuadzibu, Ta’dzibu, Rabbi, Yurabbi, dan tarbiyah. Kata “to educate” yang berbentuk “verb” atau kata kerja dalam arti sempit adalah “to teach or the help someone learn”, yang berarti “mengajar atau menolong seseorang belajar”.
Adapun kata “tarbiyah” berarti “bertambah dan tumbuh”. Hans Wehr dalam kamusnya Arabic-English Dictionary menyatakan kata Adzaba, berpadanan dengan kata “to educate, to discipline” yang berarti lebih menekankan kepada terbinanya akhlak atau perilaku.

2.       Pengertian Secara Terminologis
Secara umum, definisi yang dikemukakan mempunyai esensi yang sama. Titik persamaannya adalah pendidikan itu merupakan suatu usaha.

B.     Pengertian Pendidikan Islam Menurut Para Ahli
1.      Syed Muhammad al-Naquib al-Attas
Menurut beliau, antara kata ta’dzibu dan kata tarbiyah, transliterasi yang digunakan sebagai “pendidikan” adalah kata ta’dzibu, karena dalam struktur konseptualnya ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Oleh karena itu, ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam.

2.      Dedeng Rosidin
Dedeng berpendapat bahwa tarbiyah lebih luas dan lebih dalam daripada ta’lim, tardis, tahdzib, dan ta’dib. Ia merupakan proses menyeluruh yang meliputi semua aspek pertumbuhan manusia.
3.      Agus Basri
Dalam bukunya Pendidikan Islami sebagai Penggerak Pembaharuan, mengatakan: bahwa pendidikan adalah usaha mendorong dan membantu seseorang mengembangkan segala potensinya serta mengubah diri sendiri, dari satu kualitas kepada kualitas yang lain yang lebih tinggi.

4.      Kongres Ke-2 Tentang Pendidikan Islami
Dalam kongres ke 2 ini, dikutip dari H.M. Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami adalah ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan diri pribadi, manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan pancaindra.
Oleh karena itu, pendidikan Islami harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, intelektual, imajinasi (fantasi), jasmaniah, keilmiahannya, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek itu  ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.[1]
C.    Pengertian Modernisasi
1.      Tinjauan Etimologis
Kata “modern” berasal dari bahasa Inggris. Dalam tinjauan kamus Longman Dictionary of Contemporary English disebutkan bahwa kata “modern” adalah bentuk adjective atau kata sifat “modern:ajd: of the present time, or of the not far distant past; not ancient”. Berarti modern menunjukkan sifat sesuatu yang baru yang berlaku pada masa kini atau masa yang tidak terlalu jauh dari masa kini, atau tidak kuno.
Dari tinjauan etimologis tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kata “modern” mempunyai dua penafsiran, yaitu dalam arti “baru” yang berlawanan dengan kata “lama” atau “kuno”. Artinya yang dikatakan baru, adalah sesuatu yang belum ada sebelumnya, dalam arti “yang selalu dianggap baru, tidak pernah dianggap using sehingga berlaku sepanjang masa.” Dengan demikian, kata “modern” itu juga berarti progresif dan dinamis.”
Selanjutnya, kata “modernisasi” berarti upaya, sedangkan kata “modernitas” berarti sikap. Dengan demikian, “modernisasi” berarti upaya menciptakan sesuatu yang baru yang dibutuhkan dan digunakan pada masa sekarang. Namun demikian, sebagaimana dikatakan diatas, sesuatu yang baru tidak selalu berarti yang belum ada sebelumnya, tetapi bisa berarti yang selalu dianggap baru, tidak using, sehingga berlaku sepanjang zaman atau bersifat “up to date” tidak “out of date”.
Adapun penggunaan kata “modernisasi” dalam etimologi Islam menurut Harun Nasution, “…. Dapat diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa dalam Islam, seperti al-Tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia”.

2.      Tinjauan Terminlogis
Kata “moderniasi” atau “pembaharuan” telah digunakan dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan (sains), teknologi, maupun segi kehidupan lainnya. Koentjaraningrat dalam bukunya, Kebudayaan Mentalitiet dan Pembangunan mengatakan bahwa “modernisasi” adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa pada suatu kurun tertentu di mana bangsa itu hidup.
Dalam Islam, moderniasasi tidak hanya sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan fisik materi saja. Modernisasi harus menciptakan sikap kemodernan atau modernitas yang secara sepintas mengandung pendekatan kepada kebenaran mutlak, kepada Allah.

D.    Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia
1.      Pendahuluan
Sebagai the agent of social change, Pendidikan Islam dituntut utuk mampu memainkan peran secara dinamis dan proaktif. Di antara belitan berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai tantangan dan prospek ke depan. Perkembanga yang cukup signifikan pada paruh pertama abad XX adalah semakin meningkatnya intensitas perjuangan negara Muslim untuk melepaskan diri dari dominasi kolonial Barat. Hal ini dapat dilihat bahwasanya banyak negara Muslim yang mampu terbebas dari penjajahan bangsa Barat. Walaupun demikian, belenggu Barat tak berhenti sampai di sini, tidaklah mudah merubah tatanan politik dan sosio-kultural Barat yang telah cukup lama mengakar kuat dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Merubah tatanan yang telah mengakar sangat kuat butuh kerja yang begitu keras, maka dari itu peran Pendidikan Islam sangat diperlukan. Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di negara-negara Muslim pada abad XXI akan djumpai polarisasi baik dari aspek epistemologis, ontologis maupun aksiologisnya. Baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjdi bahan kajian yang debatable di kalangan para ahli Pendidikan Islam.
Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pendidikan Islam sekarang dikembangkan –baik system maupun substansinya—adalah cenderung diadopsi dari Barat. Biarpun muncul gagasan-gagasan baru dari para pemikir Muslim itu dianggap sebagai penjelasan dari gagasan-gagasan sebelumnya yang telah dijelaskan oleh pemikir-pemikir Barat. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai, sehingga cukup sulit bagi para pakar Pendidikan Islam untuk menggali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran orisinal dari kalangan Muslim sendiri, supaya tidak dicap menjiplak produk Barat.
Rahman menyatakan bahwa, factor yang makin membuat lebih complicated adalah, bahwa pendidikan baru tersebut telah dicangkok dari organisme hidup lainnya di Eropa, dengan background kultural, struktuk internal dan konsistensinya sendiri. Perbedaan pokok yang terjadi sekarang adalah bahwa peradaban Yunani telah musnah sementara peradaban Islam tetap hidup dan kuat serta mampu menghadapi sains Yunani dalam terma-termanya sendiri. Tetapi Peradaban Islam menghadapi sains Barat Modern, pada berbagai posisi yang tak menguntungkan –secara psikologis maupun intelektual—yang disebabkan oeh dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat.

2.      Situasi Sosio-Kultural
Situasi dunia secara umum, oleh Tibi digambarkan munul perjuangan-perjuangan dan konflik dalam masyarakat dunia ini. Secara luas konflik tersebut terjadi antara budaya Barat yang sangat dominan dengan tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan kultur Non-Barat yang masih besifat pre-industrial, yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap alam. Masyarakat dunia, oleh Tibi, dipandang sebagai masyarakat non-egalitarian karena memilki struktur yang asymmentric. Dari sinilah pangkal tolak munculnya subordinasi Non-Barat terhadap Barat. Dunia Barat dengan kekuatan kultur industrinya yang ditopang dengan penguasaan ilmu pengetahun dan teknologi, mampu menaklukkan dan menata kembali sebagian besar negara-negara Preindustri (negar-negara Dunia Ketiga).
 Rahman menggambarkan bahwa, sejenis sekularisme telah muncul di dunia Islam pada masa-masa premodernis yang disebabkan karena kemandegan pemikira Islam (the stagnation of Islamic thinking) pada umumnya, dan pada khususnya, disebabkan oleh kegagalan hokum dan lembaga-lembaga shari’a mengembangkan diri dalam upaya memenuhi tuntutan kebutuhan dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini jelas mempengaruhi jalannya modernisasi Islam, khususnya dalam lapangan pendidikan.
Selanjutnya, proses moderenisasi di berbagai kawasan Muslim menampakkan perbedaan-perbedaan substansial, yang disebabkan oleh empat factor: (1) apakah suatu wilayah budaya akan tetap mempertahankan kedudukannya vis-à-vis ekspansi politik Eropa, baik secara de jure maupun de facto, (2) karakteristik organisasi ulama atau kepemimpinan keagamaan, dan sifat hubungan mereka dengan institusi-institusii pemerintah sebelum terjadinya penjajahan; (3) keadaan perkembangan pendidikan Islam dan budaya yang menyertai sesaat sebelum terjadinya penjajahan; (4) sifat kebijakan colonial secara keseluruhan dari kekuatan penjajah tertentu seperti Inggris, Perancis, dan Belanda.

3.      Problem Utama
Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidkan Islam pada umumnya setidaknya dapat diklasifikaska dalam lima hal dan problem-problem tersebut saling kait-mengait satu sama lain. Persoalan-persoalan tersebuat adalah sebagai berikut:
a.      Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia Pendidikan Islam adalah dikhotomi dalam beberapa aspek yaitu; antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam. Rahman dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan Islam zaman Pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak pernah berhenti antara Hukum dan Theologi untuk mendapt julukan sebagai ‘mahkota semua ilmu’. Tetapi penutpan pintu ijtihad (yakni pemikiran orisinil dan bebas) yang berlangsung selama abad 4H/10 M dan 5H/11 M telah membawa kepada kemandegan umum baik ilmu Hukum maupun ilmu Intelektual.
Mengenai Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Tibawi ketika menyimpulkan potret pendidikan Islam di Arab abad XX menyebutkan bahwa, secara keseluruhan –dengan sedikit kemungkinan perkecualian—pendidikan Kejuruan dan Teknik adalh tidak lebihb dari sekdar hiasan (decorative) yang berada di pingggiran dari sistem-sistem Nasional (Arab).  
Masih tentang potret pendidkan Islam di Arab, pandangan dikhotomik ini berdampak cukup luas terhadap aspek-aspek lain. Tibawi mencatat munculnya ketidakseimbangan antara jumlah siswa pria dan wanita di semua jenjang, antara kuantitas dan kualitas pendidikan Kejuruann Praktis dengan pendidikan Abstrak Teoritis dalam sistetem tersebut, dan akhirnya –mungkin lebih serius—adalah antara kuantitas dan kualitas pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan. Persoalan besar dari ketidaksinambungan itu adalah anggapan masyarakat yang negatif (social prejudice) yang masih melekat tentang kehadiran atau keberadaan pendidikan kaum wanita.

b.      To General Knowledge
Kelemahan dunia Pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaina masalah (problem-solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakatnya.
Banyak dijumpai di beberapa negari Muslim, khususnya bekas jajahan Perancis, Fakultas Seni dan Hukum menjadi fakultas yang paling penting,  faculte de letters  dan faculte des droits mendominasi seantero kampus. Para lulusan dari fakultas-fakultas tersebut mendapat ajaran ilmu yang bersifat general, yang satu terlalu general dengan fungsi-fungsi praktis dan yang lainnya dengan hafalan, tanpa memberikan perhatian terhadap usaha pemecahan masalah (problem -solving).

c.       Lake of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia Pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian / penyelidikan. Pendidikan model Barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari Westernisasi. Dalam masyarakat dimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi memiliki akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan, isi (content) dari sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model yang sama (hafalan). Ayat-ayat Al-Quran dipelajari dengan hati sebab ayat-ayat tersebut adalah sempurna dan tidak untuk diselidiki apa yang terkandung di dalamnya (not to be inquired into).

d.      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standart-standart akademis yang berlangsng selama berabad-abad tentunya terletak pada kenyetaan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi siswa-siswa untuk dapat menguasai materi-materi yang sering kali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aaspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.  Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)  daripada pemahaman yang sebenarnya.

e.       Certificate Oriented
Potret di hampir seluruh universitas Islam di Arab dan Afrika menurut Tibi bahwa, para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan “kualifikasi substansial”, yang dapat diterapkan atau dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Belajar, oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alasan pemenuhan kebutuhan perut (a bread winning ticket) atau tiket untuk masuk posisi-posisi yang lebih baik.[2]
Di masa sekarang, pola yang ada dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Fenomena tersebut memunculkan kelompok intelek yang kurang atau bahkan tidak capable, yang pada gilirannya akan berguguran oleh seleksi alam.

4.      Tantangan dan Prospek
a.      Tantangan

Pendidikan diyakini merupakan salah satu agen perubahan sosial. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan. Karena itu, banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci membuka pintu ke arah modernisasi”. Tetapi, pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi atau pembangunan. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang telah menjalankan program moderenisassi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program pembangunan. Karena itulah, pendidikan harus diperbaharui, dibangun kenbali atau dimodernisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. [3]
Dari sudut pandang tokoh-tokoh Muslim, ada beberapa penalaran mereka tentang krisis yang melanda dunia pendidikan Islam. (1) bahwa tumbuh suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah abad kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum Muslimin adalah buah dari usaha memenuhi seruan Al-Quran agar manusia mengkaji alam semesta hasil karya Tuhan, yang diciptakan baginya; (2) bahwa pada abad-abad pertengahan yang akhir semangat penyelildikan ilmiah telah merosot dan karenanya masyarakat Muslim mengalami kemandegan dan kemerosotan; (3) bahwa Barat telah menggalakkan kajian-kajian ilmiah yang sebagian besarnya telah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karenanya mereka mencapai kemakmuran, bahkan selanjutnya menjajajh negeri-negeri Muslim; dan (4) bahwa karenanya kaum Muslimin, dalam mempelajari kembali sains dari Barat yang telah berkembang, berarti menemukan kembali masa lalu mereka dan memenuhi kembali perintah Al-Quran yang telah terabaikan.
Pokok permasalahan dari seluruh masalah “modernisasi” pendidikan, yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan sosial (agent of social change),  adalah membuatnya mampu mencetak produktivitas intelektual yang kreatif dan dinamis dalam semua bidang usaha intelektaul yang terintegrasi dengan Islam.
Problem yang menyelimuti dunia pendidikan Islam adalah kesenjangan di antara jenjang pendidikan. Higher Education  biasanya  berdiri sebagai menara gading. Baik infra maupun supra struktur bagi Pendidikan Tinggi seringkali tidak memadai. Supra struktur, dalam hal ini lapangan pekerjaan maupun untuk pengembangan keilmuan yang telah mereka dapatkan seringkali menemui kesulitan, mereka mengalami shock culture atau bahkan aliensi. Inilah pekerjaan rumah bagi Pendidikan Islam untuk membenahi kelembagaannya, dengan satu penekanan bahwa pembenahan itu tidak bisa dilakukan secara sepenggal-sepenggal.

b.      Prospek
Kaum Muslimin merupakan komunitas terbesar kedua yang ada di bumi ini. Tentu merupakan sebuah potensi yang sangat besar bila hal itu mampu digarap secara baik, dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Lebih dari itu, jika dilihat, sebagian besar negara Muslim merupakan negara yang memiliki potensi alam yang sangat kaya, sehingga dua potensi, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam, jika mampu dipadukan secara simultan, maka akan menjadi sebuah kekuatan besar di dunia ini.
Semakin terbukanya cakrawala pemikiran di antara sebagian intelektaul Muslim, salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya pelajar/sarjana Muslim yang belajar di Barat, merupakan angin segar bagi upaya menemukan kejayaan masa lalu yang hilang.
Satu hal yang perlu disorot adalah gerakan-gerakan negara Islam seperti OKI atau Liga Arab, jika mampu mengoptimalisasi peran, khusunya pencerahan dalam bidang pendidikan, akan memberikan kontribusi dan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Islam dunia.
5.      Lingkup Indonesia
a.      Ciri-ciri Masyarakat Global
Keunggulan manusia atau suatu bangsa akan dikaitkan dengan keunggulan bangsa tersebut dalam bidang ilmu pengetahuan. Menurut Tilaar, hanya manusia unggullah yang akan survive. Di dalam kehidupan yang penuh persaingan perlu dibentuk manusia unggul partisipatoris yang dengan pengembangan sifat-sifat sebagai berikut:

1)      Kemampuan untuk mengembangkan jaringan kerjasama (network). Networking ini diperlukan karena munusia tidak lagi hidup terpisah-pisah tetapi telah terhubung satu dengan lain.
2)      Kerjasama (teamwork). Setiap orang di dalam masyarakat abad ke-21 mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keunggulan spesifiknya.
3)      Cinta kepada kualitas tinggi. Manusia unggul adalah manusia yang terus-menerus menungkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga dia akan mencapai kalitas tinggi. Kualitas yang dicapai hari ini akan ditingkatkan esok harinya (Tilaar, 1999: 56-57). Selain dari itu, era ini juga ditandai pula dengan memunculkan teknologi pembelajaran jarak jauh seperti teleconference, internet, serta media-media komunikasi teknologi pembelajaran modern lainnya, dalam bentuk global education.

b.    Peluang dan Tantangan Globalisasi 
Peluang era globalisasi itu adalah semakin mudahnya komunikasi dan informasi akan semakin mempermudah hubungan antar sesama manusia, sehingga dengan demikian transformasi ilmu dan peradaban manusia menjadi sangat mudah pula.
Tantangan :
Pertama, tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak dapat disangkal bahwa dunia ini masih saja dibagi kepada dua kelompok besar, yaitu negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Negara-negra maju menjadi produsen dari hasil-hasil kemajuan teknologi tersebut, sedangkan negara-negara berkembang menjadi konsumen. Dengan demikian, negara-negara berkembang akan menjadi negara yang tergantung kepada negara-negara maju. Negara-negara maju akan meraih keuntungan yang banyak dari penjualan hasil produksi mereka terhadap negara-negara berkembang.
Kedua, tantangan ekonomi, disebabkan negara-negara maju tumbuh menjadi negara-negara kaya, maka laju perekonomian dunia pun akhirnya ditentukan pula oleh negara-negara maju, negara-negara berkembang karena kekurangan sumber daya manusia terampil, maka tidak bisa mengolah hasil dalam negeri mereka secra maksimal untuk mendapat nilai tambah, maka otomatis pula berpengaruh kepada penghasilan negara tersebut.
Ketiga, tantangan culture (budaya). Persaingan budayapun tidak bisa dihindari, dari berbagai hal yang berkenan dengan gaya hidup, pandangan hidup, model pemakainan, makanan, dan seterusnya akan muncul di arena global. Di sini biasanya budaya-buday yang berasal dari negara-negara majau akan mendominasi.[4]

E.     Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia

1.      Melakukan telaah kritis dan menyeluruh terhadap agama, baik yang bentuknya normatif maupun historis. Teks-teks suci yang bersifat normatif perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai dasar agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Sedang dalam sisi historis, pemahaman umat terhadap agamanya sepanjang sejarah perlu diperiksa kembali.

2.      Perlu adanya pengintegrasian pendidikan agama dengan ilmuilmu lain. Sehingga tidak menimbulkan pandangan yang dikotomis yangmenyebabkan timbulnya perbedaan anggapan ada perbedaan nilai dan di Barat yang sekuler, moralitas dan etika diajarkan dalam setiap mata pelajaran, bukan hanya pada mata pelajaran agama saja. Bahkan ajaranajaran agama hanya memuat masalah-masalah spiritual individual yang bersifat teknis ritual. Seluruh mata pelajaran dan aktivitas di sekolah diarahkan sebagai  sumber moralitas dan kebaikan bagi peserta didik.

3.      Perlunya melakukan revolusi pembelajaran pendidikan agama dengan cara mempraktikkan nilai-nilai luhur agama tersebut dalam kehidupan nyata yang ditopang oleh prinsip-prinsip keadilan atau kerukunan antar umat beragama.

4.      Diperlukan adanya reformulasi materi pembelajaran pendidikan Agama islam.

5.      Diperlukan adanya transformasi dan internalisasi nilai-nilai agama ke dalam pribadi peserta didik dengan cara; pergaulan, memberikan suri tauladan dan mengajak serta mengamalkannya.   

6.      Diperlukan sumberdaya guru agama Islam yang berkualitas. Pada saat ini ada kecenderungan untuk menunjuk guru sebagai salah satu faktor penyebab minimnya kualitas lulusan. Kritikan mulai dari ketidakefektifan guru dalam menjalankan tugas, kurangnya motivasi dan etos kerja, sampai kepada ketidakmampuan guru dalam mendidik dan mengajar.[5]










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengertian Pendidikan Islam
a.       Secara Bahasa   Kata “pendidikan” berasal dari kata “didik”. Dalam bahasa Inggris “to educate” yang berbentuk “verb” atau  kata kerja dalam arti sempit adalah “to teach or the help someone learn”, yang berarti “mengajar atau menolong seseorang belajar”. Dalam bahsa Arab salah satunya yaitu kata “tarbiyah” berarti “bertambah dan tumbuh”.
Hans Wehr dalam kamusnya Arabic-English Dictionary menyatakan kata Adzaba, berpadanan dengan kata “to educate, to discipline” yang berarti lebih menekankan kepada terbinanya akhlak atau perilaku.
b.      Secara umum, definisi yang dikemukakan mempunyai esensi yang sama. Titik persamaannya adalah pendidikan itu merupakan suatu usaha.

2.      Pengertian Pendidikan Islam Menurut Para Ahli
Menurut Para Ahli salah satunya yaitu Dedeng Rosidin berpendapat bahwa tarbiyah lebih luas dan lebih dalam daripada ta’lim, tardis, tahdzib, dan ta’dib. Ia merupakan proses menyeluruh yang meliputi semua aspek pertumbuhan manusia.

3.      Pengertian Modernisasi
a.      Tinjauan Etimologis
Kata “modern” mempunyai dua penafsiran, yaitu dalam arti “baru” yang berlawanan dengan kata “lama” atau “kuno”. Artinya yang dikatakan baru, adalah sesuatu yang belum ada sebelumnya, dalam arti “yang selalu dianggap baru, tidak pernah dianggap using sehingga berlaku sepanjang masa.” Dengan demikian, kata “modern” itu juga berarti progresif dan dinamis.”

b.      Tinjauan Terminlogis
Kata “moderniasi” atau “pembaharuan” telah digunakan dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan (sains), teknologi, maupun segi kehidupan lainnya. Koentjaraningrat dalam bukunya, Kebudayaan Mentalitiet dan Pembangunan mengatakan bahwa “modernisasi” adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa pada suatu kurun tertentu di mana bangsa itu hidup.

4.      Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia
a.      Pendahuluan
Sebagai the agent of social change, Pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan peran secara dinamis dan proaktif. Di antara belitan berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai tantangan dan prospek ke depan.
Perbedaan pokok yang terjadi sekarang adalah bahwa peradaban Yunani telah musnah sementara peradaban Islam tetap hidup dan kuat serta mampu menghadapi sains Yunani dalam terma-termanya sendiri. Tetapi Peradaban Islam menghadapi sains Barat Modern, pada berbagai posisi yang tak menguntungkan –secara psikologis maupun intelektual—yang disebabkan oeh dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat.

b.      Situasi Sosio-Kultural
Situasi dunia secara umum, oleh Tibi digambarkan muncul perjuangan-perjuangan dan konflik dalam masyarakat dunia ini. Secara luas konflik tersebut terjadi antara budaya Barat yang sangat dominan dengan tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan kultur Non-Barat yang masih besifat pre-industrial, yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap alam. Masyarakat dunia, oleh Tibi, dipandang sebagai masyarakat non-egalitarian karena memilki struktur yang asymmentric.
Selanjutnya, proses moderenisasi di berbagai kawasan Muslim menampakkan perbedaan-perbedaan substansial, yang disebabkan oleh empat factor: (1) apakah suatu wilayah budaya akan tetap mempertahankan kedudukannya vis-à-vis ekspansi politik Eropa, baik secara de jure maupun de facto, (2) karakteristik organisasi ulama atau kepemimpinan keagamaan, dan sifat hubungan mereka dengan institusi-institusii pemerintah sebelum terjadinya penjajahan; (3) keadaan perkembangan pendidikan Islam dan budaya yang menyertai sesaat sebelum terjadinya penjajahan; (4) sifat kebijakan colonial secara keseluruhan dari kekuatan penjajah tertentu seperti Inggris, Perancis, dan Belanda.

c.       Problem Utama
1)      Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia Pendidikan Islam adalah dikhotomi dalam beberapa aspek yaitu; antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam. Rahman dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan Islam zaman Pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak pernah berhenti antara Hukum dan Theologi untuk mendapt julukan sebagai ‘mahkota semua ilmu. Tetapi penutpan pintu ijtihad (yakni pemikiran orisinil dan bebas) yang berlangsung selama abad 4H/10 M dan 5H/11 M telah membawa kepada kemandegan umum baik ilmu Hukum maupun ilmu Intelektual.
Masih tentang potret pendidkan Islam di Arab, pandangan dikhotomik ini berdampak cukup luas terhadap aspek-aspek lain. Tibawi mencatat munculnya ketidakseimbangan antara jumlah siswa pria dan wanita di semua jenjang, antara kuantitas dan kualitas pendidikan Kejuruann Praktis dengan pendidikan Abstrak Teoritis dalam sistetem tersebut, dan akhirnya –mungkin lebih serius—adalah antara kuantitas dan kualitas pendidikan di perkotaan dengan di pedesaan. Persoalan besar dari ketidaksinambungan itu adalah anggapan masyarakat yang negatif (social prejudice) yang masih melekat tentang kehadiran atau keberadaan pendidikan kaum wanita.

2)      To General Knowledge
Kelemahan dunia Pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaina masalah (problem-solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakatnya.

3)      Lake of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia Pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian / penyelidikan. Pendidikan model Barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari Westernisasi

4)      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standart-standart akademis yang berlangsng selama berabad-abad tentunya terletak pada kenyetaan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali,  Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)  daripada pemahaman yang sebenarnya.

5)      Certificate Oriented
Potret di hampir seluruh universitas Islam di Arab dan Afrika menurut Tibi bahwa, para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan “kualifikasi substansial”, yang dapat diterapkan atau dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Belajar, oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alasan pemenuhan kebutuhan perut (a bread winning ticket) atau tiket untuk masuk posisi-posisi yang lebih baik.
Di masa sekarang, pola yang ada dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata.

6)      Tantangan

Pokok permasalahan dari seluruh masalah “modernisasi” pendidikan, yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan sosial (agent of social change),  adalah membuatnya mampu mencetak produktivitas intelektual yang kreatif dan dinamis dalam semua bidang usaha intelektaul yang terintegrasi dengan Islam.
Problem yang menyelimuti dunia pendidikan Islam adalah kesenjangan di antara jenjang pendidikan. Higher Education  biasanya  berdiri sebagai menara gading. Baik infra maupun supra struktur bagi Pendidikan Tinggi seringkali tidak memadai. Supra struktur, dalam hal ini lapangan pekerjaan maupun untuk pengembangan keilmuan yang telah mereka dapatkan seringkali menemui kesulitan, mereka mengalami shock culture atau bahkan aliensi. Inilah pekerjaan rumah bagi Pendidikan Islam untuk membenahi kelembagaannya, dengan satu penekanan bahwa pembenahan itu tidak bisa dilakukan secara sepenggal-sepenggal.

7)      Prospek
Semakin terbukanya cakrawala pemikiran di antara sebagian intelektaul Muslim, salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya pelajar/sarjana Muslim yang belajar di Barat, merupakan angin segar bagi upaya menemukan kejayaan masa lalu yang hilang.
Satu hal yang perlu disorot adalah gerakan-gerakan negara Islam seperti OKI atau Liga Arab, jika mampu mengoptimalisasi peran, khusunya pencerahan dalam bidang pendidikan, akan memberikan kontribusi dan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Islam dunia.
8)      Lingkup Indonesia
a.      Ciri-ciri Masyarakat Global
1)      Kemampuan untuk mengembangkan jaringan kerjasama (network).
2)      Kerjasama (teamwork
3)      Cinta kepada kualitas tinggi
b.    Peluang dan Tantangan Globalisasi 
Peluang era globalisasi itu adalah semakin mudahnya komunikasi dan informasi akan semakin mempermudah hubungan antar sesama manusia, sehingga dengan demikian transformasi ilmu dan peradaban manusia menjadi sangat mudah pula.
Tantangan :
Pertama, tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak dapat disangkal bahwa dunia ini masih saja dibagi kepada dua kelompok besar, yaitu negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Kedua, tantangan ekonomi, disebabkan negara-negara maju tumbuh menjadi negara-negara kaya, maka laju perekonomian dunia pun akhirnya ditentukan pula oleh negara-negara maju
Ketiga, tantangan culture (budaya). Persaingan budayapun tidak bisa dihindari, dari berbagai hal yang berkenan dengan gaya hidup, pandangan hidup, model pemakainan, makanan, dan seterusnya akan muncul di arena global.

5.      Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Digital di Indonesia
a.       Melakukan telaah kritis dan menyeluruh terhadap agama.
b.      Perlu adanya pengintegrasian pendidikan agama dengan ilmuilmu lain.
c.       Perlunya melakukan revolusi pembelajaran pendidikan agama dengan cara mempraktikkan nilai-nilai luhur agama tersebut dalam kehidupan nyata yang ditopang oleh prinsip-prinsip keadilan atau kerukunan antar umat beragama.
d.      Diperlukan adanya reformulasi materi pembelajaran pendidikan Agama islam.
e.       Diperlukan adanya transformasi dan internalisasi nilai-nilai agama ke dalam pribadi peserta didik dengan cara; pergaulan, memberikan suri tauladan dan mengajak serta mengamalkannya.       
f.       Diperlukan sumberdaya guru agama Islam yang berkualitas.

B.     Saran
1.      Bagi pembaca, diharapkan untuk mengetahui dan mengambil sisi positif dari adanya tantangan pendidikan islam pada era modernisasi/era digital di Indonesia.
2.      Bagi Masyarakat pada umumnya, diharapkan untuk menelaah masuknya budaya-budaya asing yang bisa mengganggu fungsi dari pendidikan Islam itu sendiri, sehingga tidak menimbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat.






















DAFTAR PUSTAKA

Engku, Iskandar. 2014. Sejarah Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Putra Daulay, Haidar  dan  Pasa, Nurgaya. 2013. Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama
e-journal.stain-pekalongan.ac.id Pada 9 Oktober 2016 Pukul 12.36



      [1] Dr. H.  Iskandar Engku, M.A., 2014. Sejarah Pendidikan Islami. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 1-5
[2] Bassam Tibi, Islam, Loc. Cit., lihat juga hal.112.
[3] Azyumardi Azra, Pembaruan Pendidikan Islam,  dalam Marwan Saridjo,  Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,  Jakarta: Amissco, 1996, hal 2-3.
       [4] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A. dan Dra. Hj. Nurgaya  Pasa, M.A, 2013, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah, Jakarta, PT Kharisma Putra Utama, hlm. 195-199
[5] Diakses dari e-journal.stain-pekalongan.ac.id Pada 9 Oktober 2016 Pukul 12.36

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Nasikh dan Mansukh

Analisis Kasus Dengan Teori Erikson

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Bali 2018